SOSOK KH Ismail, Karib Kiai Sholeh Darat yang Gigih Berjuang Melawan Kolonialisme Belanda dari Jamus Demak

SOSOK KH Ismail, Karib Kiai Sholeh Darat yang Gigih Berjuang Melawan Kolonialisme Belanda dari Jamus Demak
SOSOK KH Ismail, Karib Kiai Sholeh Darat yang Gigih Berjuang Melawan Kolonialisme Belanda dari Jamus Demak

HALO JATENG- Haul KH Ismail Godo Jamus Mranggen Demak digelar Jum’at, 27 Juni 2025 bertepatan tanggal 1 Muharrom 1447 H.

Peringatan haul dimulai dengan sema’an al-Qur’an 30 juz pada pagi hari, kemudian ziarah kubur di makam KH Ismail di belakang Masjid Ismail Godo dan puncaknya malam tanggal 2 Muharrom diadakan pengajian akbar dan arwah jama’ di Masjid Ismail Godo dengan pembicara al-Mukarrom KH Ahmad Haris Shodaqoh, Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah yang juga pengasuh PP al-Itqon Bugen Pedurungan Semarang.

KH Ahmad Haris Shodaqoh meceritakan sosok Mbah KH Ismail yang menurutnya tergolong kiai istimewa. Menurutnya, dari sisi usia, kakeknya yang bernama Mbah Kiai Abdul Rasyid Bugen masih lebih muda dari Kiai Ismail. Dimungkinkan karena alasan itu juga kakeknya pernah menimba ilmu dengan Mbah Kiai Ismail.

Kiai Ahmad Haris Shodaqoh besyukur lantaran keturunan Mbah Kiai Ismail banyak yang jadi tokoh di masyarakat, sehingga bisa menjadi tausyiah bagi umat.

“Kalau cuma bangga dengan sejarahnya niku tidak ada artinya. Kalau Mbah KH Ismail banyak istimewa ahli ilmu, ahli ibadah, keturunan yang baik harus bersyukur. Sebab sowan wonten ngarsanipun Allah dengan membawa bekal yang lengkap dengan menurunkan keturunan yang sholeh yang malam ini dihauli sebagai bentuk waladun sholeh, termasuk santri-santrinya,” ujarnya.

“Para masyayih mbah-mbah dahulu ahli tirakat tapi sekarang kita sulit tirakat sehingga susah menjadi istimewa karena zamannya sudah berubah. Tapi kita masih punya pegangan nasihat-nasihat dan perilaku dari orang-orang tua untuk kita ikuti,” pesannya.

“Biografi Mbah KH Ismail bisa menjadi nasihat untuk kita semua khususnya untuk dzurriyah beliau,” jelasnya.

Sekilas Biografi KH Ismail

KH Ismail merupakan salah satu ulama besar yang hidup pada abad ke19 M. Beliau diperkirakan lahir tahun 1810 dan wafat tahu 1920 dalam usia 110 tahun. Beliau putera Mbah Mangun bin Mbah Taruno yang merupakan pendukung Pangeran Diponegoro di kawasan pantura. Ia juga masih keturunan Ki Ageng Pemanahan.

KH Ismail muda sudah rajin belajar menuntut ilmu hingga ke Banten dan ikut berjuang melawan Belanda. Beliau adalah tokoh ulama dan juga seorang guru yang telah banyak menurunkan tokoh-tokoh ulama di tanah Jawa.

Sebagai tokoh pejuang.
KH Ismail pada usia muda pernah ikut dalam sebuah pertempuran melawan Belanda di daerah Gombel Jatingaleh Semarang pada masa akhir perang Diponegoro. Ribuan orang terlibat dalam perang tersebut.

Salah satu panglima perang Pangeran Diponegoro adalah Ki Ageng Galang Sewu yang dipercaya memimpin laskar perlawanan dengan pasukan yang berjumlah ribuan orang di wilayah Semarang dan sekitarnya.

Perang ini menyebabkan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak dan mengakibatkan kerugian besar bagi Belanda. Perang ini menjadi salah satu pertempuran penting dalam sejarah Perang Diponegoro di pantura, yang menunjukkan perlawanan gigih rakyat Jawa khususnya Semarang dan sekitarnya terhadap penjajahan Belanda.

KH Ismail menikah dan bermukim di Godo Jamus Demak.
KH Ismail berhasil selamat dan kemudian berdomisili di Dukuh Godo Desa Jamus Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak.

Dukuh Godo kala itu suasananya masih sepi dan jauh dari hiruk pikuk keramaian kota.
KH Ismail menikah dengan Asiyah, puteri Mbah Thohir bin Mbah Irsyad bin Mbah Shodiq Wringinjajar Mranggen yang biasa disebut Ki Ageng Jago Wringinjajar Mranggen yang garis ke atasnya sampai kepada Sunan Pandanaran.

Mbah Thohir Jago Wringinjajar mempunyai 8 putra yaitu Kiai Zaenudin, Kiai Muhammad Hadi (Mbah Hadi Girikusumo), Kiai Muhammad Thoyyib (Bendosari Sadeng Gunungpati), Kiai Syamsuri (Ungaran), Nyai Asiyah (menikah dengan Kiai Ismail Godo Jamus), Nyai Hasanah, Nyai Syarifah dan Kiai Shodiq.

Dalam menjalankan syiar Islam, KH Ismail mendirikan musholla (kemudian jadi masjid) yang hingga sekarang masih tetap kokoh berdiri di daerah Godo Jamus Mranggen Demak.

Bahwa cikal bakal bangunan Masjid Jami’ Godo semula berupa surau (musholla) dan pesantren didirikan pada tahun 1835 oleh KH Ismail. Untuk ibadah sholat Jum’at saja, KH Ismail dan para santri kala itu harus berangkat ke Masjid Besar Kauman Semarang.
Pada tahun 1960-an, KH Ismail bersama KH Muhammad Hadi Girikusumo di Makkah bertemu dengan KH Sholeh Darat yang sudah menjadi guru di Makkah. Kemudian KH Sholeh Darat diajak pulang untuk diajak berjuang mendidik para santri di Jawa.

Setelah sampai di Jawa, KH Muhammad Hadi mendirikan pesantren di hutan Girikusumo Mranggen tahun 1868, KH Sholeh Darat mengajar di pesantren di Purworejo kemudian tahun 1870 pindah mendirikan pesantren di kampung Darat Semarang. Sedangkan KH Ismail mendirikan pesantren di Godo Jamus.

KH Muhammad Hadi dikenal pondok tarekat Naqsyabandiyah Kholidiyah yang santrinya tersebar di berbagai daerah di Jawa Tengah bahkan sampai Kalimantan dan Malaysia.

KH Ismail dengan tarekat Qodiriyan Naqsyabandiyah banyak memiliki santri orang-orang kampung. KH Sholeh Darat dengan kajian akidah, tafsir dan fiqh yang mendalam yang berkembang pesat dan mendapatkan santri yang banyak di antaranya KH Hasyim Asya’ari (Pendiri NU), KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), KH Abdullah Sajad, KH Abdullag Mudzakir, RA Kartini, dan lain-lain.

Seiring waktu, aktivitas KH Ismail dan pesantren Godo diketahui Belanda. Karena pihak penjajah merasa terancam sehingga pesantrennya kemudian dihancurkan Belanda.

Bangunan musholla kemudian direnovasi yang pertama pada tahun 1873 dengan diubah menjadi masjid. Pada prasasti yang ada di masjid bertuliskan tahun Masehi 1873 sebagai tahun renovasi pertama Masjid Jami’ Godo. Sehingga sudah bisa dibuat sholat Jum’at.

Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga memiliki sumur peninggalan KH Ismail yang diyakini membawa keberkahan bagi warga sekitar. Sumur ini menjadi simbol keberkahan.

Setiap tahun, pihak desa mengadakan kirab apitan air dari sumur tersebut untuk disiramkan ke sawah-sawah. Alhamdulillah, hasil panen warga selalu melimpah.

KH Ismail mendidik santri dan anak-anaknya dengan wawasan kebangsaan, nilai-nilai nasionalisme dan anti kolonialisme, untuk tidak tunduk kepada Belanda. Para putera KH Ismail (Godo Jamus Mranggen) dan keturunannya selalu melanjutkan tugas leluhurnya melakukan strategi perlawanan terhadap Belanda dan menyebarkan agama Islam agar tetap lestari di pulau Jawa.

Hingga saat ini pengelolaan Masjid masih berlanjut. Bangunan Masjid pun sudah banyak mengalami perubahan. Akan tetapi berbagai assesoris seperti ukiran-ukiran masih asli dan hanya mendapat sentuhan pewarnaan.

Guna melestarikan Masjid Godo, Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama (LTM NU) Jawa Tengah kembali mengukuhkan masjid bersejarah melalui program plangisasi. Kali ini, giliran Masjid Jami’ Ismail Godo di Desa Jamus, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, yang diresmikan sebagai masjid bersejarah oleh Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, KH Ubaidullah Shodaqoh, pada Sabtu (18/1/2025).

Makam KH Ismail bersama istri terletak di belakang masjid Jami’ Isma’il Godo Jamus RT 12 RW 04. Haul KH Ismail Godo diperingati tiap bulan Muharam.

Haul kali ini bertujuan untuk kirim doa, ngalap barokah dan untuk mengenang jasa beliau, bahwa di Jamus ada tokoh ulama dan wali besar yang bernama KH Ismail yang hidup pada abad 19.

*Arina Rohmah (Sekretaris Yayasan Azzahro Pedurungan Semarang).

Exit mobile version