Membaca Kartini di Antara Pabrik dan Pegon, Mahasiswa Jepara-Rembang Menggugat Zaman

Reading Kartini Between Factories and Pegon, Jepara-Rembang Students Challenge the Times
Reading Kartini Between Factories and Pegon, Jepara-Rembang Students Challenge the Times

HALO JATENG- Suasana sore di Landmark UIN Walisongo Kampus 3, Semarang, pada Selasa (22/4/2025), diselimuti semangat diskursif dan reflektif saat seratusan mahasiswa berkumpul dalam forum gabungan Keluarga Mahasiswa Jepara Semarang (KMJS) dan Keluarga Mahasiswa Rembang Semarang (Kamaresa).

Mereka tak sekadar mengenang sosok RA Kartini sebagai simbol emansipasi, melainkan menggugat realitas kontemporer yang ironis di tanah kelahirannya.

Diskusi bertajuk “Kartini di Persimpangan: Antara Emansipasi dan Eksploitasi” menghadirkan Dr. Muh Khamdan, akademisi sekaligus widyaiswara Kementerian Hukum yang juga putra asli Jepara.

Khamdan mengawali paparannya dengan menelusuri jejak historis sosial budaya Jawa abad ke-18 hingga 19. Menurutnya, lahirnya Kartini pada 1879 tidak lepas dari residu panjang Perang Diponegoro (1825–1830) yang turut mengubah posisi perempuan Jawa secara sistemik.

“Pasca perang besar itu, perempuan yang semula bagian dari barisan perjuangan malah dikurung dalam sistem pingitan. Kolonialisme menganggap perempuan harus jinak, tidak berpikir bebas, apalagi berpendidikan,” ujar Khamdan.

Ia menggarisbawahi bahwa Kartini adalah pengecualian sekaligus perlawanan terhadap tatanan patriarki, feodalisme bangsawan, serta dogma agama yang dijadikan alat pembungkaman.

Khamdan menyebut keberanian intelektual Kartini sebagai kelanjutan dari pengaruh kakaknya, Sosrokartono, jurnalis perang yang menetap di Eropa selama hampir tiga dekade.

“Dari dialektika surat-menyurat dengan tokoh Eropa, Kartini membentuk jaringan diaspora intelektual sejak usia belasan,” katanya.

Dari sanalah tumbuh kesadaran Kartini akan pentingnya pendidikan sebagai jalan merdeka.

Forum yang dipantik oleh Yusrul Rizannul Muna dari KMJS dan Najih Fawaid dari Kamaresa, juga membahas kontribusi Kartini dalam berbagai sektor: pendirian sekolah perempuan pribumi, penyusunan tafsir Qur’an beraksara pegon, pengembangan motif macan kurung dalam seni ukir, dan rintisan destinasi bahari Jepara.

Namun, refleksi menjadi getir saat diskusi menyinggung kondisi perempuan Jepara kontemporer.

“Kini, banyak perempuan muda di Jepara tidak tertarik kuliah. Mereka lebih memilih jadi buruh pabrik garmen setelah lulus SMA,” ujar Yusrul.

Ia menambahkan, pilihan pragmatis itu terjadi karena tekanan ekonomi dan minimnya kesadaran keluarga akan pentingnya pendidikan tinggi.

Fenomena tersebut, menurut Khamdan, menjadi paradoks dalam perjuangan Kartini.

“Kartini ingin perempuan merdeka dalam pikiran dan ekonomi, bukan justru terperangkap dalam kerja berulang yang eksploitatif,” ujarnya.

Ia menyebut industri garmen di Jepara sebagai bentuk kolonialisme baru yang mengabaikan harkat manusia.

Selain eksklusifnya pendidikan, proses urbanisasi besar-besaran dari luar Jepara yang dipicu oleh perekrutan buruh pabrik juga memunculkan patologi sosial.

“Lonjakan perceraian yang diajukan istri, praktik asusila, bahkan kasus pembunuhan bayi dan penyakit menular seksual kini jadi isu serius di Jepara,” kata Najih.

Diskusi pun menyentuh titik genting antara realitas pembangunan dan degradasi sosial.

Ironisnya, sektor kerajinan ukir yang pernah dibanggakan Kartini sebagai warisan budaya justru terancam mati karena tidak ada regenerasi.

“Anak-anak muda tak lagi tertarik jadi pengukir karena tidak ada jaminan finansial. Mereka melihat industri garmen lebih pasti meski melelahkan,” ucap salah satu peserta diskusi, mahasiswa asal Kecamatan Tahunan, Jepara.

Perempuan, yang dulu didorong Kartini agar berpikir mandiri dan berdaya melalui pendidikan dan kesenian, kini terjebak dalam pola industri yang tidak manusiawi.

“Di sini letak pengkhianatan zaman terhadap semangat Kartini,” kata Khamdan lantang.

Forum ini juga mengutip sejumlah surat Kartini yang dikirimkan kepada sahabat-sahabatnya di Belanda, seperti kepada Stella dan Abendanon.

“Kartini dulu bilang, ‘Saya ingin sekali melihat perempuan menjadi manusia sebelum menjadi istri siapa pun.’ Tapi sekarang, perempuan dibentuk hanya untuk jadi mesin produksi dan reproduksi,” ungkap Najih.

Beberapa peserta dari organisasi lintas kota juga menyinggung pentingnya reformasi kebijakan daerah, terutama pada akses pendidikan vokasi berbasis budaya lokal, agar perempuan tidak hanya diarahkan pada kerja industri, tetapi juga kerja kreatif dan sosial.

Diskusi ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap dari KMJS dan Kamaresa yang berisi lima poin seruan, yaitu penguatan akses pendidikan bagi perempuan Jepara dan Rembang, insentif bagi regenerasi pengrajin ukir, pengawasan ketat atas industri garmen, pelatihan literasi hukum untuk buruh perempuan, serta revitalisasi tafsir keislaman berbasis emansipasi Kartini dan KH Sholeh Darat.

“Saat negara dan pasar gagal melindungi perempuan, maka suara-suara Kartini baru harus lahir dari kampus, dari desa, dari pergerakan ini,” pungkas Yusrul yang disambut tepuk tangan meriah para peserta diskusi menjelang senja.

Dengan demikian, Landmark UIN sore itu bukan sekadar ruang diskusi, tetapi juga ruang perlawanan dan pengingat bahwa perjuangan Kartini belum selesai, bahkan di tempat ia dilahirkan. (*)

Exit mobile version