Oleh Umi Nadhira*
HALO JEPARA- Nasih guru Supriyani yang harus berhadapan dengan hukum menambah daftar panjang para pendidik yang harus terancam dikriminalisasi seiring aktivitas pengajaran yang mereka lakukan. Hal ini tentu ironis terlebih jika dihadapkan dengan realitas guru Supriyani dan para pendidik non ASN atau PPPK yang meski ikut mencerdaskan kehidupan bangsa namun belum mendapat kesejahteraan layak dari negara lantaran hanya mendapat honor ratusan ribu per bulan.
Di satu sisi, ketegasan konstitusi dalam upaya melindungi guru sudah jelas tercantum dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Regulasi yang diundangkan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 30 Desember 2005 itu, pada pasal 39 menyebutkan bahwa semua satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru, baik perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Namun menjelang 19 tahun pemberlakuan UU Guru dan Dosen, bangsa ini semakin tersadar betapa sulitnya menagih amanat konstitusi tersebut. Menteri Pendidikan pun sudah silih berganti sampai tujuh kali sejak adanya UU tersebut, namun kondisinya hampir sama.
Setiap pemerintahan tentu mengaku sudah membuat kebijakan dan program perlindungan bagi guru, kendati realitas perlindungan guru dari tindak kekerasan dan intimidasi hukum seolah nihil.
Di mana-mana termasuk di depan istana negara maupun di sekitar “istana” perwakilan rakyat, ada tanda-tanda kecemasan para guru karena ketiadaan perlindungan. Di Jakarta pada awal tahun ajaran baru 2024/2025 kemarin, terjadi “cleansing honorer”. Sebanyak 107 guru honorer di Jakarta diberhentikan secara tiba-tiba, yang didorong rekomendasi Badan pemeriksa Keuangan (BPK) tentang pembersihan tenaga honorer di satuan pendidikan negeri.
Kenyataan itu mempertegas bahwa guru belum merasakan adanya perlindungan profesi, baik imbalan yang tidak wajar dan pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan.
Pembangunan sebagai emansipasi kebudayaan semakin jelas sosoknya sebagai penindas kalangan lemah, termasuk profesi guru.
Tujuan nasional berupa mencerdaskan kehidupan bangsa, justru tidak dimulai dari kondisi kesejahteraan para guru. Status guru honorer atau guru swasta yang dibayar sangat tidak wajar jelas memunculkan kondisi para guru yang tidak memiliki kewibawaan dan bekerja kurang profesional. Ketidakmampuan negara menyediakan bangunan sekolah yang cukup sesuai karakteristik wilayah, serta ketidakmampuan negara melakukan rekrutmen guru yang memadai, sudah semestinya harus memberikan jaminan perlindungan bagi para guru swasta.
Jaminan kelayakan tidak haru diukur dari imbalan gaji, tetapi adanya perlindungan dari intimidasi hukum maupun ancaman keselamatan kerja.
Pengorbanan atas masyarakat lemah yang terwakili oleh para guru honorer terlihat dari sejumlah kasus yang muncul di tengah masyarakat. Kasus Supriyani, seorang guru honorer asal Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, yang dituduh menganiaya muridnya di SDN 4 Baito.
Kasus yang menimpa guru honorer yang sudah mengabdi selama 16 tahun ini berlanjut sampai pada penetapan sebagai tersangka atau jalur damai dengan membayar denda 50 juta. Supriyani bahkan mengalami masa penahanan di dalam sel kurungan sembari menjalani proses persiadangan di Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan, atas perbuatan yang tidak dilakukannya.
Tragedi penghukuman terhadap guru terjadi juga di Sumbawa Barat. Akbar Sarosa, seorang guru agama Islam di SMKN 1 Taliwang, menghukum muridnya karena tidak sholat. Upata pendisiplinan itu berujung pada pelaporan ke polisi dan dituntut ganti rugi sebesar 50 juta.
Demikian juga proses pendisiplinan yang dilakukan oleh Sularno di SDN Sungai Naik, Musi Rawas, terhadap anak didik yang tidak mengerjakan tugas. Guru honorer itu divonis 6 penjara kurungan selama 6 bulan dan denda 60 juta. Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan untuk menjalankan pendisiplinan murid, ternyata tidak ada jaminan berjalan.
Dalam situasi seperti itu, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) perlu memainkan peran kembali untuk menegaskan perlindungan guru. Nota kesepahaman antara PGRI dan Polri sudah pernah dibuat pada 2022 dengan ruang lingkup pertukaran dan pemanfaatan data, penegakan hukum profesi guru, bantuan pengamanan, peningkatan kapasitas dan pemanfaatan sumber daya manusia, serta pemanfaatan sarana prasarana. Secara khusus, perlindungan dan penegakan hukum profesi guru menjamin guru dari tindakan kekerasan, ancaman, diskriminatif, intimidasi, dan perlakuan tidak adil.
Program dan kebijakan perlindungan guru yang dijalankan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah selama ini, seolah berjalan tanpa perencanaan yang matang untuk jangka waktu yang panjang.
Hal demikian dapat terlihat dari sejumlah kasus yang marak terjadi di sejumlah daerah. Seharusnya, dengan sejumlah regulasi yang ada telah memberikan jaminan perlindungan bagi para guru. Jika guru masih belum aman dalam menjalankan profesi, tentu ada yang salah antara penyelenggara negara dan masyarakatnya dalam menempatkan martabat dan kewibawaan guru itu sendiri.
Bisa jadi, Kementerian Hak Asasi Manusia mesti memainkan peran dalam mengawal penghormatan, pemenuhan, perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM yang mendukung otonomisasi peran dan fungsi guru.
*Pemerhati Pendidikan, Alumnus MA Matholiul Falah, Kajen Pati