Sketsa Penguak Misteri Hilangnya Keraton Demak, Jalan Pos Daendels dan Proyek Rel Kereta Api Belanda
HALO JATENG- Misteri hilangnya Keraton Demak Bintoro hingga kini belum sepenuhnya terkuak. Meski begitu, sudah mulai ada titik terang yang membuka tabir misteri tersebut.
Titik terang itu bermula dari sebuah sketsa gambar yang dibuat Belanda berupa peta tanah Perdikan Kadilangu dan denah lokasi keraton Demak pada awal abad 19. Sketsa itu diperkirakan dibuat antara tahun 1801-1806. Dalam sketsa ini terlihat tanah Perdikan Kadilangu sangat luas dengan tanda garis lingkaran merah, di samping peta denah lokasi keraton Demak yang terdapat pemukiman dan dikelilingi rimbunan pohon kelapa.
Sketsa ini dibuat Belanda sebelum negara kolonial ini jatuh ke tangan Perancis yang berdampak pada penjajahan Perancis (1806-1811). Fakta sejarah menunjukkan Jalan Raya Pos Daendels mulai dibangun tahun 1808. Di wilayah Demak Jalan Raya Pos Daendels ini melewati bekas Keraton Demak. Setelah Belanda kembali menguasai Jawa dibangun rel kereta api tahun 1885.
Kemungkinan sketsa dibuat antara tahun 1801 sampai tahun 1806, karena pada gambar peta tersebut sudah ada denah Pendopo Kadipaten Demak yang baru (dibangun oleh Pangeran Condronegoro tahun 1801-an berada di sisi utara sungai Tuntang lama yang sekarang menjadi kantor Bupati Demak) berseberangan dengan kompleks Masjid Agung dan lokasi bekas Keraton Demak.
Jika selama ini orang banyak yang masih penasaran mengenai lokasi keraton Demak, maka dengan adanya peta gambar dari Belanda ini telah membuka tabir misteri lokasi keraton Demak.
Bekas Keraton Demak Dihancurkan oleh Daendels
Dokumen Belanda menyebutkan pada awal abad ke-19 masih ada bangunan bekas keraton Demak dan gapuranya di sisi selatan alun-alun Demak tapi diruntuhkan tahun 1809. Penghancuran Keraton Demak itu seiring proyek jalan pos Daendels (kini jalur Pantura) disusul pembuatan rel Kereta Api tahun 1885 yang menabrak bekas dinding/bangunan Keraton Demak.
Seorang peneliti Belanda bernama Fokker dalam kesaksiannya tahun 1809 masih mengunjungi reruntuhan bangunan keraton Demak. Dia mengatakan sebagai berikut: “Sebidang tanah yang terletak berseberangan (berhadapan) dengan masjid dan pada sisi alun-alun dan di belakang dibatasi oleh sungai-sungai yang masih tetap disebut Sitinggil oleh penduduk setempat, adalah tempat di mana sultan-sultan Demak memiliki keraton mereka.
Batu-batu bata masih utuh dan pecahan-pecahan batu bata yang berserakan, dan apa yang saya temukan lebih lanjut tidak meragukan bahwa saya telah berkeliling di suatu ruangan (tempat) dari seorang raja atau keraton, yang dilengkapi dengan dinding-dinding dan pintu-pintu (gapura)”.
Fokker juga mengutip sumber Portugis dari dokumen laporan Mendez Pinto yang memberitakan adanya pembakaran keraton Demak oleh pasukan Pasuruan/Panarukan (Blambangan) pada akhir pemerintahan Kesultanan Demak (mungkin era Sultan Hadiwijaya sehingga pusat pemerintahan dipindah ke Pajang).
Bisa jadi serangan balas dendam pasukan Pasuruan/Panarukan (Blambangan) itu juga mendapat bantuan dari Portugis yang sudah membangun benteng di tepi pantai Donorojo Keling Jepara (situs benteng masih ada). Pembakaran keraton Demak tersebut masih menyisakan bekas bangunan seperti gapura/pintu, dinding yang terbuat dari batu-bata, dan sebagian kayu atap juga ada.
Fokker beruntung pada tahun 1809 berkunjung ke Demak masih bisa menyaksikan bangunan bekas keraton di sisi selatan alun-alun Demak. Namun ketika tahun 1809 pembangunan jalan Daendels masuk di Demak menabrak bangunan bekas keraton Demak yang akhirnya dirobohkan.

Namun, 51 tahun kemudian, ada kesaksian orang Belanda bernama F.S.A de Clerg tahun 1860 yang berkunjung ke Demak sudah tidak lagi menemukan bekas bangunan keraton Demak. Ketika itu di bekas bangunan Keraton di kawasan Sitinggil di tepi jalan pantura dibangun bangunan Belanda dan Gudang Garam.
Namun Clerg menyatakan bahwa walau dirinya tahun 1860 sudah tidak melihat bangunan bekas keraton tapi masih melihat sisa-sisa batu-bata dan tonggak-tonggak kecil (umpak) masih dapat diluhat karena disimpan penduduk sebagai barang yang dikeramatkan, dan penduduk menyebutnya sebagai batu Sitinggil.
Sumber dokumen Belanda yang lain menyebutkan bahwa jalan kereta api yang dibangun pemerintahan kolonial Belanda pada akhir abad ke-19 (tepatnya 1885) tepat melalui pusat kerajaan Demak (Encyclopedia van Nederlandsch Indie, 1919, JI. L: 433).
Kondisi terkini
Berdasarkan cerita dari Fokker dan mengacu pada denah lokasi lokasi Keraton yang dibuat Belanda maka kemungkinan besar lokasi keraton Demak di sebelah selatan alun-alun ke timur yang sekarang sudah menjadi jalan raya pantura dari Semarang ke Demak: ada Gedung MANU, Kantor Kejaksaaan, Dinas Pariwisata, SMPN 2, Kantor KPU, Bank Jateng, BRI, pertokoan, asrama tentara, Kantor PCNU Demak, kampung Sitinggil, PP Al-Fattah, perkampungan penduduk hingga kawasan Tembiring dan sebelah timur terminal, yang dibongkar buat jalan rel kereta api.
Pembangunan Jalan Daendels dari Anyer hingga Panarukan melewati Demak merupakan bagian dari proyek pembangunan Jalan Raya Pos atau Groote Postweg yang dimulai oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1808 – 1809 .
Walhasil, terkait dengan hilangnya situs keraton Demak yang selama ini menjadi pertanyaan kita semua sekarang sudah mulai ada titik kejelasan, yakni karena dirobohkan Belanda yang sedang membangun jalan Daendels tahun 1808 / 1809, dan ditambah dengan pembangunan rel kerata api tahun 1885.
Maka jelaslah, Belanda sebagai penjajah menjadi pihak yang harus bertanggung jawab atas hilangnya keraton sebagai khazanah peradaban sekaligus salah satu identitas umat Islam Jawa.
*M Kholidul Adib, Sekretaris Yayasan Kota Wali Demak (YKWD)