Kawa-kawa di Pantai Kartini, Aturan di Atas Kertas dan Seriuskah Aksi Berantas Miras di Bumi Kartini?

Kawa-kawa di Pantai Kartini, Aturan di Atas Kertas dan Seriuskah Aksi Berantas Miras di Bumi Kartini?
Kawa-kawa di Pantai Kartini, Aturan di Atas Kertas dan Seriuskah Aksi Berantas Miras di Bumi Kartini?

HALO JEPARA- Kabupaten Jepara, kota pesisir yang dikenal dengan seni ukir dan pesona wisata baharinya, kini menghadapi dilema sosial yang kian mengemuka. Peredaran minuman keras (miras) di wilayah ini semakin merajalela, bahkan menjadi sponsor utama dalam acara hiburan masyarakat.

Salah satu contohnya adalah Parade All Star Muria Raya di Pantai Kartini, yang mendapat dukungan dari merek miras Kawa Kawa Anggur Hijau, minuman beralkohol dengan kadar 19-20 persen.

Fakta ini tentu bertolak belakang dengan upaya kepolisian dalam menekan peredaran miras, sebagaimana yang ditunjukkan melalui pemusnahan 3.766 botol miras berbagai merek dan 1.117 liter miras oplosan pada 20 Desember 2024.

Jepara sejatinya memiliki regulasi tegas terkait minuman beralkohol. Perda Nomor 4 Tahun 2001 yang kemudian direvisi melalui Perda Nomor 2 Tahun 2013 ,secara eksplisit melarang konsumsi alkohol dengan kadar lebih dari 1 persen. Bahkan, denda sebesar Rp 50 juta telah diatur bagi pelanggar.

Namun, fenomena yang terjadi di Pantai Kartini menggambarkan realitas berbeda. Miras yang seharusnya dilarang justru dipasarkan secara terbuka oleh sales girls dan dinikmati oleh pengunjung tanpa hambatan berarti.

LIHAT JUGA :  KRONOLOGI Guru Madrasah di Jepara Ditembak Pihak Tertentu, Sepeda Motor juga Hangus Terbakar

Ironisnya, lokasi acara tersebut hanya berjarak sekitar 3 kilometer atau sekitar tujuh menit perjalanan dari pusat pemerintahan dan kepolisian. Situasi ini memunculkan tanda tanya besar.

Bagaimana bisa sebuah merek miras dengan kadar alkohol tinggi menjadi sponsor utama sebuah acara besar di tengah komitmen pemberantasan miras yang dikampanyekan aparat penegak hukum? Dan, bahkan kegiatan berada di tanah aset pemerintah daerah yang dikenal sebagai andalan pendapatan asliĀ  daerah (PAD).

Peristiwa produsen minuman keras Kawa Kawa sebagai sponsor utama beserta adanya minuman keras dalam acara di Pantai Kartini, setidaknya dapat dibaca dalam sejumlah potensi pelanggaran.

Pertama, pelanggaran terhadap Perda pelarangan minuman beralkohol yang menegaskan bahwa setiap orang atau badan dilarang memproduksi, mengedarkan, dan memperdagangkan minuman beralkohol.

Kedua, pelanggaran penyalahgunaan tempat wisata milik pemerintah daerah untuk promosi minuman keras.

Ketiga, adanya potensi pelanggaran ijin keramaian kegiatan, sebagaimana Polres Jepara yang pernah mengambil sikap tegas untuk mencabut seluruh izin pertunjukan orkes dangdut di kabupaten Jepara.

Komersialisasi Miras dan Tantangan bagi Jepara

Tak dapat disangkal, industri hiburan dan pariwisata kerap dijadikan alasan untuk melonggarkan kebijakan terkait peredaran miras. Beberapa pihak mungkin melihatnya sebagai peluang investasi dan modernisasi gaya hidup masyarakat Jepara.

LIHAT JUGA :  Foto Harun Masiku Disebar, Ikhtiar Polisi Bantu KPK Tangkap Buronan Eks Kader PDIP

Namun, hal ini juga berpotensi menimbulkan dampak sosial yang lebih luas, seperti meningkatnya angka kriminalitas, gangguan ketertiban umum, hingga degradasi moral generasi muda.

Muncul pula spekulasi bahwa perubahan regulasi bisa terjadi di masa depan, demi mengakomodasi kepentingan ekonomi tertentu. Jika Perda tentang minuman beralkohol diubah demi alasan investasi, apakah Jepara siap menghadapi konsekuensi sosialnya?

Sejarah menunjukkan bahwa kerapuhan dalam penegakan hukum bisa menjadi celah bagi kepentingan bisnis untuk mengambil alih kebijakan publik.

Salah satu peristiwa yang sempat menghebohkan publik adalah viralnya pesta minuman keras yang melibatkan sejumlah buruh pabrik wanita di Jepara dengan atasan atau supervisor mereka yang berasal dari luar negeri pada 2023.

Kejadian ini terjadi di bulan Ramadhan dan memicu kecaman luas dari masyarakat. Selain dianggap tidak menghormati nilai-nilai religius, fenomena ini juga menunjukkan bagaimana lemahnya pengawasan terhadap peredaran miras di kalangan pekerja industri.

Pesta tersebut menjadi bukti bahwa konsumsi alkohol tidak hanya terjadi di ruang hiburan, tetapi juga menyusup ke kalangan para pekerja, menciptakan budaya permisif yang bertentangan dengan norma yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Jepara.

LIHAT JUGA :  Detik-detik Tersangka Baru Kasus Penyimpangan Kredit Usaha Bank BUMN di Jepara Dijebloskan ke Rutan

Fenomena ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga ujian bagi identitas dan nilai-nilai sosial masyarakat Jepara, yang katanya religius dan santri. Jika aturan yang ada tidak ditegakkan secara konsisten, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap upaya pemberantasan miras.

Sebaliknya, jika regulasi diperketat namun tanpa pengawasan yang maksimal, maka miras tetap akan beredar secara terselubung. Ironisnya, gerakan santri maupun organisasi keagamaan di Jepara seolah sudah layu sebelum berkembang dalam menghadapi peredaran minuman keras.

Jepara perlu memilih arahnya dengan bijak. Apakah akan tetap berpegang teguh pada aturan yang sudah ada atau mulai mempertimbangkan kebijakan baru yang lebih akomodatif terhadap industri hiburan dan investasi.

Di tengah persimpangan ini, yang terpenting adalah memastikan bahwa kebijakan yang diambil tetap berpihak pada kesejahteraan sosial, moralitas masyarakat, dan ketertiban umum, tanpa dikorbankan demi kepentingan bisnis semata.

Muh Khamdan, Doktor Agama dan Studi Perdamaian UIN Jakarta