Jateng  

Pilkada Demak 2024 Tanpa Money Politics, Mungkinkah?

Bakal paslon Pilkada Demak 2024 (Sumber @KPUdemak)
Bakal paslon Pilkada Demak 2024 (Sumber @KPUdemak)

Analis: Dr. M. Kholidul Adib, SHI, MSI*

HALO DEMAK- Warga Demak akan merayakan lagi pesta demokrasi rutin lima tahunan berupa pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung yang digelar serentak pada 27 November 2024.

Ada dua pasangan calon yang akan berlaga di Pilkada Demak 2024, yaitu bupati petahana Eisti’anah – M Badruddin atau Gus Bad yang diusung oleh DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Demak, Partai Golkar, PAN, PSI, Partai Gelora dan PKS.

Petahana Eisti’anah akan ditantang oleh Edi Sayudi – Eko Pringgo Laksito yang diusung oleh PKB, Partai Gerindra, Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PPP.

Usai mendaftarkan ke KPU pada akhir Agustus 2024, kedua pasangan calon langsung tancap gas. Tak hanya memanaskan mesin partai, berbagai elemen lainnya seperti relawan hingga infuencer juga terus digerakkan.

Karena hanya diikuti oleh dua pasangan calon, maka gawe Pilkada Demak 2024 diramalkan bakal seru dan ketat. Bahkan saat ini sudah mulai muncul praktik negatif atau bahkan black champaign yang menyasar kedua pasang calon tersebut.

Oleh karena itu demi terwujudnya pilkada Demak tahun 2024 yang demokratis, aman, damai dan bermartabat, semua pihak harus tetap menjaga kondusivitas wilayah dan dewasa menghadapi perbedaan dukungan politik.

Penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu dari tingkat kabupaten hingga tingkat desa harus profesional, adil dan netral alias tidak memihak salah satu kontestan pilkada. Karena jika penyelenggara pemilu baik KPU Demak atau Bawaslu Demak dan jajarannya terindikasi ikut bermain maka dampaknya bisa mengancam legalitas dan tingkat penerimaan publik terhadap hasil Pilkada Demak 2024.

Pilkada Kabupaten Demak akan segera memasuki masa krusial yaitu pengumuman penetapan pasangan calon bupati dan wakil bupati oleh KPU pada tanggal 22 September 2024. Lalu dilanjutkan dengan pengundian nomor serta pengumuman nomor urut pasangan calon pada tanggal 23 September 2024.

Setelah itu akan memasuki masa kampanye dari 25 September hingga 23 November 2024. Selanjutnya memasuki masa tenang tanggal 24-26 November 2024 dan masa pemungutan dan penghitungan suara tanggal 27 November 2024.

LIHAT JUGA :  Cuaca Ekstrem Diperkirakan Terjang Jepara pada 12 - 18 Desember 2024, Ini Imbauan BMKG

Jika kita memperhatikan langkah-langkah pemenangan masing-masing calon hampir ada kemiripan. Para kandidat tentu sudah mempersiapkan visi, misi dan program kerja yang akan mereka sampaikan kepada masyarakat sebagai bentuk komitmen mereka untuk memimpin Kabupaten Demak selama 5 tahun ke depan.

Selain itu, para kandidat mengadakan sosialisasi kepada masyarakat baik dengan memasang baliho di banyak tempat maupun menghadiri langsung berbagai kegiatan pertemuan dengan masyarakat.

Dalam pertemuan ini para calon akan mengajak masyarakat sharing mengenai apa-apa saja yang akan dikerjakan untuk pembangunan Demak ke depan. Kemudian masyarakat juga berhak memberikan komentar, kritik, saran, setuju atau tidak setuju dengan visi, misi dan program para calon.

Tak hanya itu, para kandidat sudah mulai memanaskan mesin politiknya masing-masing dengan mengadakan konsolidasi dan penguatan tim pemenangan resmi.

Tim ini biasanya melibatkan gabungan dari unsur partai, tokoh masyarakat, tokoh ormas dan berbagai elemen masyarakat. Tim juga dibentuk hingga tingkat kecamatan dan desa. Bahkan sudah ada yang memulai melakukan pendataan pemilih agar nantinya benar-benar memilih kandidat yang diinginkan oleh tim pemenangan.

Selain tim pemenangan resmi, pasangan calon juga sudah mulai membuat tim relawan di berbagai komunitas dengan melibatkan para tokoh masyarakat, tokoh ormas, tokoh agama dan tokoh pemuda bahkan alumni sekolah atau pesantren.

Tim relawan yang dibentuk juga sudah mulai rajin melakukan pertemuan di komunitasnya masing-masing. Keberadaan tim relawan ini akan memperkuat kerja tim pemenangan resmi. Dalam sejumlah kasus kadang tim relawan kerjanya lebih maksimal ketimbang tim pemenangan resmi.

Tentu saja untuk memenangkan pilkada tentu membutuhkan biaya yang sangat besar, baik untuk membiayai mesin partai, bahan-bahan sosialisasi, konsumsi dan transportasi tim sukses, hingga mempersiapkan dana untuk memberikan “sedekah politik” kepada masyarakat pemilih.

Pemberian ini biasanya terjadi pada hari tenang atau hari H pencoblosan. Istilah “sedekah” ini sering disampaikan oleh para tim sukses. Hal ini ibarat “bom waktu” di kemudian hari.

Jika pasangan calon terpilih, maka yang akan dilakukan saat menjabat adalah mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan untuk biaya pemenangan. Hal ini membuka celah terjadinya korupsi APBD, jual beli jabatan atau dalam bentuk lainnya.

LIHAT JUGA :  Buruh di Jepara Ingin UMK 2025 Naik 10 - 24 Persen, Apindo Sesuai Regulasi, Dewan Pengupahan Cek Hasil Survei KHL

Oleh karena itu, warga Demak harus tegas untuk menolak segala bentuk pemberian dari calon karena ujungnya nanti akan membuat angka korupsi semakin besar. Masyarakat Demak harus menjadi pemilih yang cerdas yang rasional yang memilih atas dasar hati nuraninya, atas dasar akal sehatnya, bukan atas dasar transaksional pragmatis atau rasional instrumental (dalam Bahasa Max Weber).

Pemilih yang cerdas dan rasional yang memilih atas dasar visi misi dan program calon akan menyelamatkan Kabupaten Demak ke depan. Maka masyarakat harus mulai mengenali para calon, track record paslon, integritas hingga komitmen mereka untuk Kabupaten Demak.

Bahaya Money Politics bagi Demokrasi

Pengalaman pemilu dan pilkada langsung di Indonesia selama ini selalu dibayangi dengan politik uang (money politics). Fenomena ini tidak hanya berlaku pada pilkada tetapi juga pada pileg, pilpres dan pilkades. Selalu ada pihak yang membagi uang yang menyuruh penerima untuk mencoblos calon tertentu.

Hal ini sudah menjadi rahasia umum namun susah untuk dibuktikan karena masyarakat juga sudah memaklumi dan menjadikannya sebagai kelumrahan. Praktik politik uang (money politics) seperti pembelian suara, mahar politik hingga penyalahgunaan dana kampanye, telah menjadi masalah yang meresahkan.

Hal ini bisa saja menimbulkan sebuah hipotesis bahwa hasil pemilihan seringkali dipengaruhi oleh uang daripada pemilih yang benar-benar memahami visi dan misi calon kandidat.Pengalaman dari pemilu yang dilaksanakan di Indonesia, modus money politics dibagi dalam kategori langsung dan tidak langsung.

Misalnya, (a) membagi-bagikan uang secara langsung, (b) instruksi memasangkan bendera dengan imbalan uang, (c) pembagian sembako, (d) memberi uang kepada massa kampanye, (e) membagikan uang melalui temu kader, (f) janji-janji memberikan sesuatu, (g) memberikan bantuan dana pembangunan rumah ibadah, dan berbagai modus lainnya.Sebenarnya money politics dalam penyelenggaraan pemilu memiliki cakupan yang lebih luas.

Tidak hanya dilihat dari hubungan antara partai politik atau kandidat dengan pemilih, akan tetapi juga harus dilihat di dalam bentuk-bentuk interaksi antara partai politik atau kandidat, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), dan pemilih. Kemudian, juga tidak terjadi pada tahapan kampanye dan pemungutan suara saja, akan tetapi juga dapat terjadi pada tahapan lainnya.

LIHAT JUGA :  Fadli Zon Komitmen Lindungi Cagar Budaya Bawah Air, Kementerian Kebudayaan Genjot Kompetensi SDM Pelestarian CBBA

Kondisi masyarakat yang menganggap lumrah money politics hampir merata terjadi di Indonesia. Selama pemilu/pilkada digelar di era reformasi, pemenangnya rata-rata adalah kontestan yang didukung dana besar yang mampu membagi uang kepada pemilih.

Sangat sedikit atau jarang ditemukan kandidat bisa menang tanpa dana. Walau kasus money politics jarang terungkap tetapi fakta di lapangan memang yang begitulah yang menjadi kenyataan.

Apalagi aturan hanya memberikan hukuman kepada kandidat atau tim kampanye resmi yang terdaftar sebagai pemberi barang atau uang (money politics) yang bisa ditindak, sedangkan apabila yang memberikan orang lain yang bukan kandidat dan tim kampanye yang terdaftar di KPU maka tidak dianggap sebagai money politics yang dapat ditindak.

Politik uang (money politics) telah menjadi perbincangan sebagai masalah krusial dalam setiap pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada), menggugah keprihatinan mendalam atas masa depan demokrasi dan memunculkan ketidakpastian atas integritas sistem politik kita.

Meskipun menghilangkan sepenuhnya praktik ini adalah tugas yang sangat sulit, namun langkah-langkah penanggulangan politik uang harus menjadi prioritas utama dalam persiapan pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2024.Praktik politik uang (money politics) berpeluang merusak integritas demokrasi dan menciptakan ketidaksetaraan dalam proses politik.

Praktik money politics dalam penyelenggaraan pemilu dapat menciderai demokratisasi, merusak sistem politik, menodai fairness proses politik atau lebih jauh lagi invalidasi hasil proses politik. Dengan kata lain, pelanggaran berupa money politics dapat membahayakan demokrasi dan merusak kehendak rakyat dalam menentukan pilihannya.

Hal ini menunjukkan bahwa money politics adalah persoalan serius dalam penyelenggaraan pemilu/pilkada. Terlebih Indonesia sebagai negara yang memilih pemerintahan berbentuk sistem demokrasi. Namun realitas yang terjadi di lapangan, dalam penyelenggaraan pemilu money politics hampir dilakukan secara merata oleh peserta dan partai politik dengan berbagai macam modus pelaksanaannya.

Jadi, mungkinkan Pilkada Demak 2024 tanpa money politics?

*Ketua Perkumpulan REKSOBHUMI Jawa Tengah