Analis: Muh. Khamdan*
HALO JEPARA- Menjelang masa kampanye dimulai, perang jargon dan wacana perubahan dari kandidat maupun tim pemenangan belum menemukan kejelasan arah. Meski demikian, kedua pasang kontestan pilkada di Jepara sudah mulai menampakkan perbedaan.
Pasangan Gus Nung-Iqbal sementara menjadikan peningkatan sumber daya manusia sebagai tagline JUARA. Sedangkan pasangan Wiwit-Hajar semntara menjadikan infrastruktur sebagai tagline MULUS.
Di tengah kontestasi wacana dan program, masyarakat dikagetkan dengan mencuatnya isu-isu lingkungan. Jepara yang memiliki bentangan pesisir dengan variasi pasir lautnya, menjadi salah satu daerah yang terancam untuk diekspolitasi.
Terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 tentang barang yang dilarang untuk diekspor dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 kebijakan dan pengaturan ekspor, telah memberikan sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dan sedimentasi laut guna diekspor ke luar negeri. Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan 7 wilayah pesisir di Indonesia untuk dikeruk, yang salah satunya adalah perairan Jepara.
Penetapan Jepara sebagai lokasi pengerukan pasir laut setidaknya berpotensi memunculkan konflik sosial. Realitas konflik itu sebagaimana pernah terjadi bagi masyarakat Bandungharjo, Ujung Watu, dan Banyumanis, Kecamatan Donorojo yang datang ke PTUN Semarang pada 2014 untuk menggugat izin pengerukan pasir besi.
Atas dalih demi pendapatan daerah, Pemerintah Jepara memberikan izin penambangan kepada empat perusahaan, yaitu PT Rantai Mas seluas 200 hektar, CV Guci Mas Nusantara seluas 14 hektar, dan PT Alam Mineral Lestari seluas 200 hektar. Kebijakan itu berbuntut memicu aksi penolakan dari warga. Meskipun buntut aksi penolakan masyarakat itu, sebanyak 15 nelayan dikriminalisasi pada 2012. Saat itu, warga mendapat pendampingan dari para aktivis lingkungan dan Lakpesdam NU Jepara.
*****
Aliran berfikir ekonomi kerakyatan yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi. Mazhab ekonomi demikian menuntut adanya kebijakan ekonomi mesti dikerjakan semua masyarakat, untuk masyarakat, dan di bawah kepemilikan anggota masyarakat, sebagai jaminan pencapaian kemakmuran bagi semua masyarakat, bukan sekelompok tertentu. Pada perspektif ini, pasal 33 (4) lebih tegas mengakui wawasan lingkungan sebagai salah satu dasar, selain prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, dan berkelanjutan.
Oleh karena itu, isu lingkungan mesti dipertimbangkan sebagai program kerja yang jelas dan terukur oleh para kontestan Pilkada Jepara. Bila mencermati program pasangan calon, belum ditemukan gambaran strategi peningkatan pendapatan daerah dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Hal ini menarik karena menjual sumber daya alam adalah jalan pintas untuk mendapatkan pendapatan daerah, namun mengorbankan masyarakat beserta ekosistem untuk generasi masa depan.
Dampak langsung yang dihadapi masyarakat pesisir atas pengerukan pasir laut maupun pasir besi adalah abrasi serta semakin menjoroknya air laut ke daratan. Hilangnya desa maupun sejumlah kawasan di Jepara akibat abrasi tentu menjadi isu yang mesti ditangani.
Peter L Berger dalam buku Pyramids of Sacrifice (1974) merumuskan bahwa modernisasi selalu menuntut “biaya-biaya manusiawi” yang menekan, seperti penderitaan dan ketidakadilan. Jika benar para kontestan pilkada Jepara berpegang teguh pada garis ekonominya, respon terhadap ancaman bencana lingkungan dari penambangan yang merusak tentu mengedepankan aspek manusianya.
Pilihan untuk tidak mengeksploitasi lingkungan dan memilih kreativitas ekonomi setidaknya memenuhi amanat konstitusi pada pasal 28 bab XA UUD 1945. Amanat itu adalah setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Konsepsi pembangunan ini berkembang sebagai jawaban atas ketidakberhasilan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pengalaman pembangunan di beberapa negara menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada skala nasional, ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dari sebagian besar masyarakat. Bahkan beberapa kasus justru meningkatkan kemiskinan absolut.
Oleh karena itu, penambangan pasir laut dan pasir besi di Jepara misalnya, cenderung berpotensi memiskinkan masyarakat dan memperkaya sebagian kalangan tertentu. Ironisnya, masyarakat yang dirugikan adalah masyarakat sekitar penambangan itu sendiri.
Untuk menyadarkan pentingnya isu lingkungan yang diajukan kontestan pilkada bukanlah persoalan mudah. Semenjak krisis ekonomi global maupun pandemi global terjadi, pemerintah sepertinya latah meluncurkan dana-dana stimulus triliunan rupiah namun belum memiliki korelasi penyelamatan lingkungan.
Dan tentu saja, memprihatinkan jika praktik ijon politik terjadi bahwa kontestan dibiayai oleh pemodal yang menguasai penambangan atau dijanjikan akan mendapatkan konsesi penambangan saat kandidat yang didanai menang. Semoga pesisir Jepara selalu terselamatkan dari dalih peningkatan pendapatan daerah.
*Pembina Paradigma Institute