Intelektualisme Santri dan Kepemimpinan Kampus, Legasi Kyai Sa’dullah Assa’idi

Intelektualisme Santri dan Kepemimpinan Kampus, Legasi Kyai Sa’dullah Assa'idi
Intelektualisme Santri dan Kepemimpinan Kampus, Legasi Kyai Sa’dullah Assa'idi

HALO JEPARA– Dr. KH. Sa’dullah Assa’idi berpulang dalam keheningan yang penuh makna, meninggalkan jejak yang tak hanya membekas di ruang-ruang akademik, tetapi juga menancap kuat di hati para aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU) Jepara.

Lahir di Jember pada 17 Januari 1956, almarhum adalah sosok yang menyeimbangkan kharisma pesantren dengan disiplin akademik modern. Wafatnya Kyai Sa’dullah adalah kehilangan besar bagi jejaring intelektual muda NU di pesisir utara Jawa Tengah, tempat ia menyemai benih-benih pemikiran dan pengkaderan.

Kiprahnya di dunia pendidikan tinggi bermula dari keberaniannya memelopori pendirian Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara, yang kini telah menjelma menjadi Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara. Ia adalah Ketua Panitia Pendiri Perguruan Tinggi NU yang kemudian beroperasi secara resmi sejak 1 Juli 1989. Sebagai salah satu perintis, beliau tak hanya menyusun fondasi kelembagaan, namun juga menghidupkan semangat ke-NU-an dalam watak kampus.

Perjalanan kariernya menggambarkan dedikasi yang teguh dan kesetiaan pada visi pemberdayaan umat melalui pendidikan. Pernah menjabat sebagai Kepala Biro UKKA INISNU (1990–1992), Pembantu Rektor II INISNU (2007–2011), hingga dipercaya sebagai Wakil Rektor I UNISNU (2013–2016), dan akhirnya menjabat dua periode sebagai Rektor UNISNU Jepara (2016–2020, 2020–2024).

Dalam rentang waktu itu, Kyai Sa’dullah  tidak hanya membangun struktur, tetapi juga membentuk kultur intelektual yang inklusif.

Tak kalah penting, dedikasi beliau di level yayasan menunjukkan integrasi antara visi akademik dan manajerial.

LIHAT JUGA :  Alasan Gus Miftah Mundur dari Jabatannya Usai Viral Olok-olok Penjual Es Teh

Sebagai Sekretaris II Yayasan INISNU (1988–1995) dan Ketua Bidang Akademik YAPTINU (2011–2013), Kyai Sa’dullah adalah penghubung penting antara aspirasi warga NU akar rumput dengan arah kebijakan perguruan tinggi. Ia memastikan bahwa cita-cita pendirian kampus NU di Jepara bukan sekadar formalitas, tetapi menjadi ruang tumbuhnya ulama-intelektual.

Tercatat ada masa-masa di mana Kyai Sa’dullah tidak begitu intens di Jepara, tepatnya medio 2000–2006. Namun periode ini justru memperkaya pandangan dan jangkauan kontribusinya.

Ia mengabdi di Kudus sebagai Wakil Ketua III STAIN Kudus di bidang kemahasiswaan, mendampingi Prof. Dr. Muslim A. Kadir. Perannya sangat strategis dalam penguatan pengkaderan mahasiswa dan aktivisme kampus berbasis intelektualitas—sesuatu yang menjadi fondasi pemikiran Kyai Sa’dullah hingga akhir hayatnya.

Di Kudus, kedekatan beliau dengan mahasiswa begitu terasa. Ia dikenal hangat namun tegas.

Saya sendiri, sebagai mantan aktivis pers kampus saat itu, mengalami langsung dinamika intelektual yang tak jarang bersitegang dengan beliau. Namun, setiap ketegangan itu justru mengarah pada dialog, seringkali diselesaikan melalui silaturahim di kediamannya, baik di Mejobo Kudus maupun di Batealit Jepara. Rumahnya adalah ruang diskusi, bukan ruang hukuman.

Satu pesan yang selalu Kyai Sa’dullah sampaikan kepada kami, “Bangun dinamika kampus dengan semangat intelektual aktivis, tapi pelihara relasi dosen dan mahasiswa seperti hubungan santri dan kyai.”

Pesan ini bukan sekadar retorika. Ia jalani, ia teladani, dan ia wariskan sebagai etika akademik. Dalam hal ini, ia menjadi pelopor pendekatan pendidikan tinggi berbasis nilai-nilai pesantren dalam kerangka kampus modern.

LIHAT JUGA :  SOSOK Pak Bun Asal Purwodadi, Penjahit Jas Prabowo Saat Pelantikan Presiden RI Terpilih

Kyai Sa’dullah adalah akademisi dengan akar kuat sebagai santri. Ia menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul Ulum dan Bahrul Ulum Jombang, dua pesantren besar yang membentuk integritas keulamaannya. Gelar doktornya diraih dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan spesialisasi dalam bidang studi Qur’an dan Hadits.

Namun, yang lebih penting dari gelar-gelar itu adalah kepeduliannya terhadap tumbuh kembang intelektual kader-kader muda.

Ia tak pernah absen memberikan motivasi kepada anak-anak muda NU agar terus belajar dan menempuh pendidikan tinggi.

Saya sendiri menjadi saksi, pada 2008, saat saya hendak hijrah ke Jakarta untuk menjadi CPNS di Kementerian Hukum dan HAM sekaligus menempuh studi S2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beliau termasuk orang yang pertama saya mintai doa restu. Jawabannya sederhana, tapi penuh makna: “Ilmu yang kau bawa akan menjadi manfaat jika kau jadikan alat untuk membela yang lemah.”

Kepemimpinannya di UNISNU Jepara mencerminkan keberhasilan menyatukan akademik, spiritualitas, dan aktivisme. Di bawah kepemimpinannya, kampus ini tidak hanya bertumbuh secara kelembagaan, tetapi juga melahirkan ekosistem intelektual muda NU Jepara yang berani, kritis, dan solutif. Ia membuktikan bahwa dari daerah pesisir pun bisa lahir pemikir-pemikir besar selama dibimbing dengan kasih sayang dan keteladanan.

LIHAT JUGA :  3 Fakta Meninggalnya Kang Gobang, Pemain Sinetron Preman Pensiun

Bagi para dosen muda, beliau adalah mentor yang mengayomi. Bagi mahasiswa, beliau adalah kyai sekaligus ayah intelektual. Dalam setiap forum resmi maupun informal, Kyai Sa’dullah tak pernah alpa menekankan pentingnya menjaga integritas, menghormati proses, dan menghidupkan tradisi ilmiah. Ia percaya, kampus bukan hanya tempat belajar, tapi ruang suci untuk merawat peradaban.

Kini, warisan yang beliau tinggalkan bukan hanya bangunan fisik kampus atau struktur organisasi, tapi lebih dari itu: semangat keilmuan yang tak tunduk pada pragmatisme. Di tengah arus komersialisasi pendidikan tinggi, Kyai Sa’dullah tetap menjaga marwah perguruan tinggi NU sebagai tempat pembentukan karakter, bukan sekadar pencetak ijazah.

Nama Dr. KH. Sa’dullah Assa’idi mungkin tidak setenar tokoh-tokoh nasional. Namun dalam khazanah intelektual NU Jepara dan sekitarnya, ia adalah nama yang akan terus dikenang sebagai pengayom, pemikir, dan pejuang senyap yang membentuk arus besar perubahan melalui pendidikan. Ia adalah arsitek kebangkitan intelektual muda NU di daerah-daerah.

Dalam hening doa para santri, dalam petuah dosen kepada mahasiswa, dalam cita-cita yang dirajut kader-kader muda NU di Jepara, nama Kyai Sa’dullah akan terus hidup. Ia bukan hanya meninggalkan warisan, tetapi membangun jalan yang akan terus dilalui: jalan ilmu, jalan iman, dan jalan perjuangan.

Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.

Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Widyaiswara Kementerian Hukum