Pelabuhan, Kalingga Industrial Zone dan Mimpi Jepara Jadi Kota Ekspor Berbasis Maritim

Pelabuhan, Kalingga Industrial Zone dan Mimpi Jepara Jadi Kota Ekspor Berbasis Maritim
Pelabuhan, Kalingga Industrial Zone dan Mimpi Jepara Jadi Kota Ekspor Berbasis Maritim

HALO JEPARA- Wacana pembangunan Pelabuhan Jepara akhirnya kembali mencuat. Bupati Jepara, Witiarso Utomo, tampak tak ingin kesempatan emas ini lenyap untuk kedua kalinya.

Setelah sekian tahun menjadi rumor pinggiran, kini suara pembangunan pelabuhan itu kembali menggema di meja birokrasi, ruang bisnis, hingga warung kopi.

Tentu tak bisa hanya jadi wacana musiman. Sejak 2015, gagasan besar bernama Kalingga Industrial Zone sudah diperbincangkan.

Namun, tanpa pelabuhan, kawasan industri hanya menjadi ‘toko’ tanpa pintu ekspor. Pelabuhan adalah simpul logistik yang menentukan apakah produk Jepara bisa bersaing di pasar global atau hanya menumpuk di gudang pabrik.

Kalingga Industrial Zone punya keunikan. Ia tidak dibangun dari nol seperti Kawasan Industri Kendal, tetapi berakar pada potensi industri furnitur, maritim, pertanian, dan energi terbarukan Jepara.

Zona ini tak hanya bicara soal pabrik, tetapi soal transformasi Jepara sebagai kota ekspor berbasis kelautan. Inilah wacana adanya enam zona pengembangan berbasis pada potensi asli Jepara.

Tapi seperti kata pepatah bisnis, tanpa pelabuhan maka mimpi ekspor hanya tinggal papan nama. Produk unggulan Jepara dari mebel jati kelas dunia hingga hasil laut segar Karimunjawa, perlu jalur logistik langsung ke pasar regional dan internasional.

LIHAT JUGA :  Jalan Rusak Jepara-Perbatasan Pati, PLTU Tanjung Jati dan Lancarnya Infrastruktur Penghubung yang Tak Kunjung Pasti

Pelabuhan adalah alat tawar global, bukan hanya dermaga bongkar muat.

Sayangnya, sejarah belum berpihak. Kita harus belajar dari Pelabuhan Kendal yang hingga kini lebih sering disebut sebagai pelabuhan sunyi.

Padahal biayanya lebih dari Rp500 miliar, dengan luas 63 hektar. Namun sejak 2024, pelabuhan itu tak lagi disinggahi kapal karena pendangkalan yang tak diantisipasi. Ironis.

Inilah jebakan pembangunan pelabuhan tanpa strategi bisnis. Kendal lupa membangun ekosistem.

Ia hadir tanpa integrasi ekosistem bisnis dan industri nasional yang memadai, dermaganya terlalu pendek, dan tak sanggup menjadi penopang pelabuhan besar di Tanjung Emas. Hasilnya? Pelabuhan tak ubahnya jadi aset tidur.

Jepara harus lebih cerdas. Jangan hanya membangun pelabuhan karena anggaran tersedia atau karena ambisi politis sedang tinggi.

Pelabuhan Jepara harus dirancang dengan pendekatan bisnis maritim modern, yaitu berorientasi pada fungsi, bukan pada seremoni.

Jika didesain dengan benar, pelabuhan ini bisa menjadi alternatif pelabuhan sekunder di utara Jawa yang menopang Semarang dan Surabaya, sekaligus membuka rute langsung ekspor untuk mebel dan hasil laut ke Asia Timur, Eropa, dan Timur Tengah.

LIHAT JUGA :  2026, 33 BPR BKK se-Jateng Marger Jadi Bank Syariah, Aset Bisa Tembus Rp12 Triliun

Potensi ekspor Jepara terlalu besar jika hanya bergantung pada pelabuhan kota sebelah.

Pelabuhan Jepara juga bisa memainkan peran baru, yaitu pelabuhan hijau berbasis energi terbarukan, yang melayani kapal logistik kecil-menengah serta kapal wisata.

Bayangkan pelabuhan ini tak hanya mengalirkan kontainer, tapi juga kapal cruise kecil menuju Karimunjawa. Pariwisata dan perdagangan bisa bersinergi.

Sayangnya, Jepara sudah telanjur distigmakan sebagai salah satu penyumbang pencemaran udara dari asap PLTU Tanjung Jati B.

Tapi semua itu tak akan terjadi jika Jepara tak segera menyelesaikan satu hal mendasar, yaitu konektivitas jalan nasional. Tanpa akses darat yang memadai, pelabuhan akan ditinggal truk logistik.

Pembangunan jalan penghubung industri dan pelabuhan adalah nadi dari strategi bisnis logistik.

Di sisi lain, Jepara punya peluang membangun pelabuhan bertaraf ekspor tanpa harus menjadi megaproyek.

Dengan desain modular dan sistem port digital, pelabuhan bisa berfungsi efisien, transparan, dan terintegrasi dengan kawasan industri. Ini pelabuhan versi 4.0, yaitu kecil, cerdas, dan berbasis data.

Pemerintah daerah harus menggandeng mitra strategis swasta yang tak hanya mau membangun fisik, tetapi juga mengembangkan ekosistem ekspor. Misalnya, eksportir furnitur bisa menjadi mitra dermaga khusus. Investor logistik laut bisa menggandeng koperasi nelayan membangun cold storage dan jalur ekspor hasil laut.

LIHAT JUGA :  Santri Ma'had Aly Hingga Disabilitas Bisa Daftar Seleksi CPNS Kemenag, Resmi Dibuka 1 September 2024

Model bisnis pelabuhan Jepara harus menghormati akar lokal sekaligus melirik pasar global. Ini bukan soal membangun infrastruktur megah, tetapi soal membuka gerbang bagi UKM lokal menembus dunia.

Meja-meja jati Jepara pantas hadir di rumah-rumah Tokyo dan Dubai, bukan hanya showroom Jakarta.

Di tengah peringatan Hari Bumi 22 April, kita juga tak boleh lupa bahwa pembangunan pelabuhan harus ramah lingkungan. Garis pantai Jepara sepanjang 85 kilometer menyimpan ekosistem mangrove dan habitat laut yang harus dijaga.

Pelabuhan yang bijak adalah pelabuhan yang merangkul alam, bukan melawannya.
Jika semua elemen ini diramu cerdas, Pelabuhan Jepara bukan hanya proyek infrastruktur.

Ia bisa menjadi strategi bisnis daerah, mesin ekspor rakyat, dan pelabuhan masa depan yang lahir dari kesadaran ekologis. Terlambat memulai boleh saja, asalkan tak salah arah.

Dr Muh Khamdan, Analis Kebijakan Publik