CATAT! Selingkuh, Kumpul Kebo, Wik-wik dengan Pasangan Tak Resmi Bisa Dipenjara

Antisipasi Maraknya Kasus Perselingkuhan

Ilustrasi larangan selingkuh dan kumpul kebo
Ilustrasi larangan selingkuh dan kumpul kebo

HALO JEPARA – Direktur Jenderal HAM Kemenkumham RI Dhahana Putra menyoroti maraknya kasus perselingkuhan. Bahkan sudah pula menjadi objek yang ramai dibincangkan di media sosial.

Dhahana mengingatkan, dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, telah diatur dengan lebih tegas mengenai kohabitasi atau kumpul kebo dan juga perzinaan.

”Bagi pasangan yang belum menikah perlu memahami bahwa di KUHP baru ini kohabitasi juga memiliki konsekuensi hukum,” ujar Dhahana mengingatkan.

Dhahana menjelaskan kohabitasi, dalam KUHP yang baru didefinisikan sebagai hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan. Hal itu juga mencakup pasangan yang tinggal bersama dan bahkan melakukan wik-wik layaknya suami istri tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah menurut hukum.

LIHAT JUGA :  VIRAL, Aksi Tak Senonoh Menggambarkan Persetubuhan Dilakukan 5 Pasang Muda-mudi di Alun-alun Jepara

Sementara itu, perzinaan dalam KUHP baru sama seperti KUHP lama tetap dipandang sebagai suatu tindak pidana. Merujuk Pasal 411 dalam KUHP baru, jelas Dhahana, setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, akan dikenai pidana perzinaan.

”Pasal ini menegaskan komitmen pemerintah untuk menegakkan norma kesusilaan dalam masyarakat,” jelasnya.

Walau demikian Dhahana menerangkan, kohabitasi maupun perzinaan merupakan delik aduan terbatas. Artinya hanya dapat diproses secara hukum jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.

”Pengaduan harus berasal dari suami, istri, orang tua, atau anak dari pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut. Tanpa pengaduan resmi dari pihak-pihak terkait tindakan tidak dapat diproses hukum,” imbuh Dhahana.

LIHAT JUGA :  Sinergi dengan Kementerian PU, Mas Wiwit Perjuangkan SPAM, Jalan Hingga Penanganan Abrasi di Jepara

Direktur Jenderal HAM mengakui kohabitasi dan perzinaan memang cukup memantik polemik. Ada pihak yang menuntut agar diberikan hukuman karena tidak sesuai nilai-nilai sosial dan keagamaan. Namun di sisi lain ada pihak yang menolak negara untuk mengatur hal tersebut karena dipandang telah mencampuri urusan private.

”KUHP berupaya mencari titik keseimbangan. Pengaturan ini penting dalam konteks HAM karena negara harus menjaga keseimbangan antara menghormati hak-hak individu dan menegakkan norma-norma sosial yang dianut oleh masyarakat,” ungkapnya.

Untuk itu Dhahana mengimbau masyarakat agar dapat memahami aturan tersebut dengan baik. Sehingga dapat menghindari konsekuensi hukum sebagaimana diatur di dalam KUHP baru itu.