HALO JEPARA- Korupsi adalah musuh utama pembangunan yang merugikan masyarakat dan menghambat kesejahteraan.
Kabupaten Jepara telah mengalami pukulan berat akibat skandal korupsi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank Jepara Artha, yang menyebabkan kerugian sekitar Rp220 miliar. Jumlah ini setara dengan alokasi dana desa untuk 184 desa di Jepara yang mencapai Rp209 miliar.
Kasus ini tidak hanya mengguncang keuangan daerah tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap tata kelola pemerintahan.
Namun, di tengah gelapnya sejarah keuangan daerah ini, langkah maju untuk pengembangan antikorupsi setidaknya sudah diinisiasi beberapa tahun sebelumnya.
Pada 2022, Penjabat (Pj.) Bupati Jepara mencanangkan program Desa Antikorupsi dengan menunjuk Desa Tegalsambi sebagai percontohan. Inisiatif ini menandai komitmen untuk membangun transparansi dan akuntabilitas dari tingkat desa.
Pada 7 Februari 2025, di Pendopo Jepara, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Fitroh Rohcahyanto, menyampaikan bahwa pemberantasan dan pencegahan korupsi akan dimulai dari kampungnya sendiri, Jepara. Hal itu disampaikan di hadapan seluruh camat, petinggi desa, dan pimpinan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) se-Kabupaten Jepara.
Dalam kesempatan ini, setidaknya menjadi komitmen awal untuk memulai aksi antikorupsi dari desa masing-masing. Hal ini menjadi bagian dari strategi besar dalam membangun sistem pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik koruptif.
Inisiatif pengembangan antikorupsi tersebut jelas menumbuhkan harapan agar tidak sebatas seremonial, tetapi benar-benar diwujudkan dalam praktik nyata.
Pemerintah desa sebagai entitas terdekat dengan masyarakat memiliki peran strategis dalam memastikan bahwa pengelolaan anggaran, terutama dana desa, berjalan transparan dan akuntabel.
Kasus Bank Jepara Artha Sebagai Pembelajaran Pahit
Skandal korupsi di PT Bank BPR Bank Jepara Artha (Perseroda) adalah salah satu kasus terbesar yang mengguncang keuangan Jepara. Dengan total kerugian mencapai Rp220 miliar, banyak nasabah yang terdampak dan mengalami kegoncangan finansial. Kredit fiktif yang menjadi modus operandi dalam kasus ini telah menyeret banyak pihak dalam lingkaran korupsi.
KPK, yang telah melakukan penyidikan, harus memastikan kasus ini dituntaskan hingga akar permasalahannya. Tidak cukup hanya dengan menghukum pelaku, tetapi juga harus ada upaya maksimal dalam pengembalian kerugian negara.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa pengawasan terhadap perusda harus diperketat agar tidak lagi menjadi ladang bancakan bagi oknum yang tidak bertanggung jawab. Terlebih jika penuntasan kasus tidak selesai dan terkatung-katung, bisa jadi akan memunculkan sebagai praktik negatif yang akan diduplikasi masyarakat yang kebetulan punya kewenangan sebagai pengelola dana desa.
Desa adalah ujung tombak pembangunan daerah. Dengan adanya Desa Antikorupsi, diharapkan dapat mencegah penyalahgunaan dana desa. Pengelolaan dana desa yang transparan dan berbasis partisipasi masyarakat akan mengurangi potensi korupsi.
Strategi pembangunan antikoruptif dari desa juga dapat membangun kepercayaan publik. Dengan tata kelola yang baik, masyarakat akan lebih percaya pada pemerintah desa dan partisipasi mereka dalam pembangunan bisa terus meningkat.
Jika pengembangan desa antikorupsi berhasil di seluruh Jepara, konsep ini akan dapat ditiru oleh daerah lain sebagai bagian dari gerakan nasional pemberantasan korupsi.
Tentu, membangun desa Antikorupsi bukan perkara mudah. Diperlukan komitmen kuat dari kepala desa, perangkat desa, dan masyarakat itu sendiri. Salah satu tantangan terbesar adalah membudayakan transparansi, mulai dari publikasi penggunaan anggaran hingga keterlibatan masyarakat dalam pengawasan.
Jepara telah memiliki modal awal dengan program yang telah dicanangkan sejak 2022. Kini, dengan dukungan penuh dari KPK dan pemerintah daerah, saatnya mewujudkan desa-desa di Jepara sebagai model tata kelola pemerintahan yang bersih.
Skandal BPR Bank Jepara Artha harus menjadi sejarah kelam yang tidak terulang. Dengan membangun Desa Antikorupsi, Jepara bisa membuktikan bahwa reformasi tata kelola bukan hanya wacana, tetapi nyata demi masa depan yang lebih baik.
Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Jakarta; LTN MWCNU Nalumsari Jepara