HALO JEPARA- Revitalisasi Alun-alun Jepara memicu perdebatan hangat di kalangan masyarakat dan pemerhati tata kota.
Sebagai ruang publik bersejarah, alun-alun adalah simbol kolektif yang menghubungkan masa lalu dengan dinamika kehidupan modern.
Oleh karena itu upaya menata ulang lanskap ini harus dilakukan tanpa melukai nilai sejarah, mengesampingkan kearifan lokal, atau mengabaikan hak-hak berbagai elemen masyarakat terlebih kelompok rentan seperti penyandang disabilitas.
Jepara tidak hanya dikenal sebagai Kota Ukir, tetapi juga kota dengan sejarah perlawanan, kreativitas, dan semangat gotong royong.
Alun-alun Jepara, sebagaimana alun-alun di kota lain di Jawa, adalah pusat gravitasi sosial dan budaya. Dari kegiatan keagamaan hingga pasar malam, alun-alun menjadi panggung kehidupan rakyat.
Namun, modernisasi sering kali datang dengan risiko menghapus jejak-jejak sejarah yang melekat pada ruang publik. Ketika revitalisasi dilakukan tanpa mempertimbangkan warisan budaya, kita kehilangan lebih dari sekadar bangunan fisik yaitu kehilangan ingatan kolektif.
Pertanyaan mendasarnya, bagaimana desain baru Alun-alun Jepara dapat merefleksikan narasi sejarah kota tanpa menjadikannya sekadar pajangan visual?
Idealnya, modernitas tidak harus bertentangan dengan kearifan lokal. Sebaliknya, desain kota yang bijak mampu menjahit kedua aspek ini menjadi harmoni.
Dalam konteks Jepara, ukiran khas, seni lokal, dan nilai gotong royong harus menjadi inti dari rancangan revitalisasi. Alih-alih hanya membangun ruang hijau generik atau fasilitas modern, alun-alun dapat menjadi etalase budaya lokal dengan memanfaatkan elemen-elemen desain yang menghidupkan identitas Jepara.
Selain itu, revitalisasi harus mencakup pendekatan ekologis. Menghadapi perubahan iklim, alun-alun sebagai ruang terbuka hijau dapat menjadi paru-paru kota yang efektif.
Desain lanskap yang memperhatikan keberlanjutan, seperti penggunaan tanaman lokal yang hemat air, dapat mengurangi dampak lingkungan sambil memperkuat karakter lokal.
Sebagai ruang publik, alun-alun harus ramah bagi semua, termasuk penyandang disabilitas.
Sayangnya, banyak proyek revitalisasi di Indonesia yang mengabaikan prinsip universal design. Tidak adanya jalur khusus bagi pengguna kursi roda yang representatif, guiding block yang tepat dalam penataan yang tidak membahayakan, minimnya signage dengan huruf Braille, atau fasilitas pendukung lainnya mencerminkan kurangnya empati dalam perencanaan.
Revitalisasi alun-alun Jepara semula sangat diharapkan menjadi contoh keberpihakan pada kelompok rentan di kawasan Pantura.
Sayangnya, ekspektasi itu jauh terwujud. Penempatan jalur pedestrian yang luas dan bebas hambatan bagi semua kalangan, zona aman untuk anak-anak, serta ruang interaksi yang tidak diskriminatif sebagai awal menuju ruang publik yang inklusif, ternyata belum bisa terpenuhi.
Revitalisasi alun-alun sebagai ruang publik yang menelan anggaran hingga Rp 4 miliar, mestinya secara maksimal melibatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan proses pembangunannya.
Namun, revitalisasi Alun-alun Jepara seolah terjebak dalam logika top-down, di mana keputusan diambil tanpa mendengar aspirasi warga.
Dalam konteks revitalisasi alun-alun, sejumlah daerah lain melibatkan komunitas lokal, seniman, dan kelompok masyarakat rentan dalam memperkaya hasil akhir proyek.
Contoh terbaik setidaknya dapat mengacu pada alun-alun “Kapal Mendoan” di Kabupaten Kebumen.
Kebumen berhasil membangun ikon wisata baru dengan keterpaduan antara kuliner, UMKM, olahraga, wisata, dan hiburan, dengan penataan parkir dan sejumlah fasilitas yang ramah disabilitas. Alun-alun yang aslinya bernama Pancasila itu memiliki trademark baru “mangan enak karo dolan” atau disingkat Mendoan.
Jepara sesungguhnya memiliki peluang untuk menjadi pelopor dalam menciptakan ruang publik yang merangkul sejarah, modernitas, kearifan lokal, dan pengarusutamaan disabilitas.
Perencanaan yang matang dan inklusif dengan kejelasan tema alun-alun, sayangnya terlewatkan.
Ibarat nasi telah menjadi bubur, mari kita memastikan bahwa Alun-alun Jepara yang baru bukan hanya indah dipandang, tetapi juga dapat memeluk semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali kelompok disabilitas.
Dr. Muh Khamdan, Pemerhati Sosial Politik dan Budaya