Hambarnya Debat Kandidat Pilkada Jepara 2024, Moderasi Beragama dan Potensi Konflik Imbas Kontestasi Politik

ILUSTRASI Moderasi Beragama (Sumber BNPT)
ILUSTRASI Moderasi Beragama (Sumber BNPT)

Oleh Dr Muh Khamdan, Instruktur Nasional Moderasi Beragama

HALO JEPARA- HAMBAR, demikian kira-kira kesan yang muncul usai menyaksikan debat Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Pilkada Jepara 2024 putaran ketiga yang digelar KPU Jepara di Eat & Meet Restaurant, Minggu (17/11) malam.

Tema yang terlalu “campur aduk” menjadikan porsi pendalaman fundamentalisme, ekstremisme, moderasi beragama, pluralisme, multikulturalisme, dan penguatan nasionalisme menjadi garing.

Irisan tema antara putaran kedua yang fokus pada ekonomi dan perkembangan wilayah, mengalami pengulangan dalam pertanyaan dan saling tanggap pada putaran ketiga. Panelis lagi-lagi menanyakan pertanyaan berkaitan UMKM sebagaimana pada putaran kedua.

Tentu saja, jawaban dari kandidat terkait seolah mengulang kembali pada jawaban pada putaran sebelumnya yang dimungkinkan untuk menjaga konsistensi. Pun, dalam sesi saling tanya dan tanggap, pertanyaan pada putaran kedua pun diulang lagi dalam putaran ketiga.

Dapat ditebak bahwa jawaban yang diuraikan tentu konsisten sebagaimana jawaban pada putaran kedua. Saling lempar tanya dan tanggap hanya berputar-putar pada aspek ekonomi.

Muncul satu bahasan yang muncul berkaitan tentang bahasan moderasi beragama. Sayangnya, strategi terencana tentang memasyarakatkan moderasi beragama cenderung difahami secara sederhana dengan dialog lintas agama.

Flyer Debat Ketiga Calon Bupati- Calon Wakil Bupati gawe Pilkada Jepara 2024 yang digelar di Eat & Meet Restaurant, Minggu (17/11/2024).
Flyer Debat Ketiga Calon Bupati- Calon Wakil Bupati gawe Pilkada Jepara 2024 yang digelar di Eat & Meet Restaurant, Minggu (17/11/2024).

Konflik antar kelompok masyarakat yang masih seringkali dijumpai merupakan wujud belum berjalannya sistem peringatan dini atas gejala fanatisme yang mengarah pada kekerasan. Terlebih, masyarakat rentan mengalami pembelahan sebagai akibat kontestasi ideologi dan politik perebutan kekuasaan.

Akar konflik yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia sekarang ini, cenderung berasal dari konflik nilai di tengah masyarakat yang sangat kompleks, yaitu adanya isu minoritas dan mayoritas. Minoritas adalah sekelompok orang yang tidak menerima perlakuan yang sama dibandingkan dengan kelompok yang lain dalam masyarakat.

LIHAT JUGA :  Perolehan Suara Paslon peserta Pilkada Jepara 2024, Gus Nung-Iqbal Keok dari Wiwit-Gus Hajar di TPS Gus Nung

Dari sini muncul istilah minoritas rasial, minoritas etnik, minoritas agama, bahkan minoritas dominan yang mampu menguasa mayoritas itu sendiri. Minoritas rasial terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai karakteristik yang merupakan pembawaan biologis seperti warna kulit.

Minoritas etnik terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai penampilan budaya yang berbeda dengan yang digunakan oleh sebagian besar anggota masyarakat.

Aspek kultural yang dapat membentuk minoritas tipe ini adalah bahasa, agama, asal kebangsaan, dan kesamaan sejarah. Pada sisi terakhir, minoritas dominan mampu melakukan adaptasi melalui terjadinya proses asimilasi sehingga menjadi penguasa yang dapat mengendalikan kekuatan mayoritas.

Aksi damai yang dilakukan oleh sebagian umat Islam dalam membela hak politik keagamaan, merupakan ekspresi untuk mengingatkan minoritas dominan yang membuka peluang konflik.

Secara sosiologis, ada empat nilai utama dalam moderasi beragam, yaitu cinta tanah air, anti kekerasan, sikap toleransi, dan penerimaan terhadap tradisi lokal. Maka letupan-letupan konflik yang muncul karena upaya untuk menghilangkan tradisi maupun pengerahan kekuatan kekerasan, membutuhkan treatment moderasi beragama yang tepat.

Kontestasi hashtag melalui media sosial misalnya, semakin memicu polarisasi di kalangan pengguna, sebagaimana tagar salafi, wahabi, komunisme, taliban, anti-Pancasila, khilafah, dan anti ba’alawi.

Realitas demikian yang rentan menimbulkan konflik horizontal untuk saling mempolisikan masyarakat melalui saling lapor dan saling beradu di hadapan hukum sekaligus mobilisasi sumber daya untuk konflik.

LIHAT JUGA :  CARA DAFTAR LOWONGAN 12.201 Anggota KPPS Pilkada Jepara 2024

Jauh sebelum kondisi masyarakat memanas akibat rekayasa pemberitaan dan berita hoax di media sosial, telah lahir Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial (UU PKS) pada 2012. Perjalanan hampir setengah dasawarsa menunjukkan bahwa peraturan hukum yang dimaksudkan untuk meredam konflik di masyarakat justru terkesan tidak memiliki dampak positif yang signifikan.

Konflik sosial masih tetap merebak di berbagai kawasan sehingga mempertegas bahwa pimpinan daerah yang telah diberi kewenangan dalam UU PKS pun tidak mampu mengimplementasikannya. Betapa keironisan itu muncul jika memperhatikan rangkaian konflik sosial yang menghiasi pemberitaan media massa mainstream maupun media sosial.

Konflik massa yang berlangsung di sejumlah daerah dengan melibatkan organisasi keagamaan tertentu maupun komunitas masyarakat tertentu, sangat membutuhkan kesepahaman tentang nilai bersama. Hukum sebagai panglima pun mengalami penafsiran lain dengan gejala saling melaporkan ke penegak hukum terhadap pihak yang tidak seiring pendapat.

Kekerasan atas dasar apapun dan oleh siapapun di luar kewenangan hukum, tentu harus ditolak dan dilawan. Fakta pengeroyokan berdarah atau perang senjata tajam antar kampung, maupun pelarangan aktivitas beribadah kelompok beragama tertentu, merupakan bahaya laten dalam kehidupan bermasyarakat.

Dendam budaya seolah menjadi langkah pembenaran bahwa nyawa harus dibalas nyawa, kebenaran hanya milik mayoritas, sehingga terjadi permusuhan lintas generasi yang tiada berujung. Tidak ada pemicu tunggal yang memengaruhi munculnya bentrok berdarah di tengah masyarakat.

Hal yang dapat dilakukan adalah mengurangi dan menghambat keberanian untuk melakukan aksi kekerasan itu sendiri. Inilah pentingnya kesadaran moderasi beragama.

LIHAT JUGA :  Andika-Hendi Kalah dari Ahmad Luthfi-Taj Yasin, Cek Hasil Survei Terbaru Poltracking Bulan September Ini

Pada dasarnya, kekerasan atau agresi merupakan perilaku sosial yang dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup. Hal ini sebagaimana budaya yang terbangun dalam masyarakat primitif yang bertahan hidup dengan melakukan perburuan binatang. Dalam budaya ini, bagian psikologi manusia bukan hanya pada aspek pembunuhannya, tetapi juga aspek kekejamannya.

Pernyataan itu sesuai dengan teori libido Sigmund Freud bahwa jiwa manusia dipengaruhi kekuatan seksual yang mendorongnya untuk agresif dan ingin berkuasa. Kondisi demikian diperparah dengan semangat menjunjung identitas sembari upaya untuk menghilangkan identitas yang lain.

Identitas dapat dimanfaatkan sebagai penciptaan soliditas masyarakat jika dikonstruksi dengan tepat. Kelemahan yang muncul di masyarakat adalah kontestasi keragaman dianggap keharusan menyingkirkan atau menghilangkan peran orang lain.

Pada posisi ini, kemampuan mengelaborasi kepekaan atas perbedaan atau sering disebut sebagai kemampuan sosiokultural menjadi sangat penting. Sosiokultural merupakan aspek-aspek yang menjadikan seseorang mengenal peran dirinya di masyarakat, mengenal karakteristik masyarakat, serta kesadaran hidup bersama di tengah masyarakat dalam kondisi apapun. Inilah hakikat awal Pancasila sebagai pembentuk identitas bangsa Indonesia.

Sayangnya, pembahasan soal moderasi beragama ini tak bisa diulik lebih dalam saat debat putaran ketiga Pilkada Jepara 2024. Dan karena tak ada debat kandidat lagi, maka warga Jepara khususnya para pemilih juga mungkin masih gamang dengan visi misi calon pemimpinnya soal strategi terencana tentang memasyarakatkan moderasi beragama di Kota Ukir. (*)