HALO JEPARA- Natal 2024 menjadi momen yang tepat untuk merefleksikan nilai-nilai kebebasan beragama di Indonesia.
Dalam konteks ini, Desa Blingoh, Bondo, Tempur, Dorang, dan Plajan merupakan sederet desa di Jepara yang menawarkan gambaran menarik tentang bagaimana keberagaman agama dapat hidup berdampingan.
Sejumlah desa itu dihuni oleh komunitas lintas agama yang mencakup Islam, Kristen, Buddha, dan Hindu yang menjalin interaksi sosial sehari-hari dengan penuh harmoni.
Di Desa Blingoh, kehidupan sehari-hari mencerminkan praktik nyata toleransi. Ketika Natal tiba, umat Islam dan Buddha turut membantu mempersiapkan perayaan gereja, menunjukkan solidaritas dan penghormatan antarumat beragama.
Harmoni ini tidak hanya terbatas pada momen perayaan, tetapi juga terlihat dalam kegiatan gotong royong membangun desa. Blingoh menjadi contoh nyata bagaimana kebebasan beragama menjadi landasan hubungan sosial yang sehat.
Kerekatan hubungan sosial lintas agama sangat tampak dalam kegiatan sedekah bumi di perkuburan desa, di mana praktik soteriologi tampak dengan doa lintas agama.
Sementara itu, Desa Plajan menambah dimensi penting dalam refleksi ini. Plajan memiliki tradisi panjang dialog lintas agama yang didukung oleh tokoh-tokoh masyarakat. Desa ini dikenal sebagai tempat di mana perbedaan agama bukanlah sumber perpecahan, melainkan kekuatan untuk memperkuat kebersamaan.
Dengan program-program lokal seperti pertemuan lintas agama dan kerja sama dalam kegiatan sosial, Plajan telah menunjukkan bahwa moderasi beragama dapat berjalan beriringan dengan kehidupan desa yang dinamis.
Plajan juga sudah dinobatkan oleh Kementerian Agama Kabupaten Jepara sebagai kampung moderasi beragama untuk pertama di Jepara. Desa di Kecamatan Pakis Aji ini dihuni oleh masyarakat beragama Islam, Hindu, Kristen, Katolik, dan Budha.
Keberagaman yang harmonis tentu bukan tanpa tantangan. Penetrasi ideologi ekstrem, politisasi agama, dan kurangnya pemahaman mendalam tentang nilai kebebasan beragama masih menjadi ancaman di banyak tempat, termasuk Jepara.
Desa Blingoh dan Plajan menghadapi kebutuhan untuk terus memperkuat pendidikan toleransi, terutama bagi generasi muda, agar nilai-nilai kebersamaan yang telah terbangun tidak terkikis oleh pengaruh luar yang merusak.
Refleksi Natal 2024 mengingatkan kita bahwa kebebasan beragama adalah hak fundamental yang harus dijaga dengan sungguh-sungguh.
Desa Blingoh dan Plajan memberikan pelajaran penting bahwa harmoni keberagaman tidak hanya membutuhkan regulasi, tetapi juga dedikasi dari masyarakat untuk saling memahami dan menghormati.
Jepara, sebagai kabupaten yang kaya dengan warisan budaya dan keberagaman agama, memiliki potensi besar untuk menjadi model nasional dalam mengelola kebebasan beragama.
Harmoni lintas agama tidak hadir begitu saja, kondisi itu perlu dibangun melalui dialog, gotong royong, dan penghormatan terhadap tradisi lokal yang mempromosikan inklusivitas.
Desa-desa semacam Blingoh dan Plajan itu menyimpan potensi besar sebagai laboratorium hidup untuk mengimplementasikan kebijakan kebebasan beragama.
Salah satu tantangan utama adalah minimnya pendidikan dan pemahaman tentang moderasi beragama di tingkat masyarakat akar rumput. Oleh karena itu, pemerintah dan organisasi masyarakat sipil perlu menggagas program-program pendidikan berbasis komunitas yang menanamkan nilai-nilai toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan.
Kearifan lokal, seperti tradisi musyawarah dan gotong royong, dapat dijadikan alat untuk memperkuat dialog lintas agama dan mengatasi potensi konflik.
Selain itu, pembangunan infrastruktur sosial yang mendukung kehidupan beragama harus menjadi prioritas. Penyediaan ruang ibadah yang inklusif dan aksesibilitas bagi semua kelompok agama, tanpa hambatan birokrasi atau sosial, adalah langkah konkret yang dapat diambil.
Pemerintah desa juga dapat berperan aktif dalam mengidentifikasi potensi gesekan sosial dan menyelesaikannya melalui pendekatan dialog yang melibatkan semua pihak.
Strategi ini juga memerlukan penguatan institusi lokal, seperti forum kerukunan umat beragama (FKUB), yang berfungsi sebagai jembatan komunikasi antar kelompok agama. FKUB di tingkat desa dapat diberdayakan untuk mengidentifikasi tantangan lokal dan memberikan solusi berbasis konteks.
Kolaborasi dengan tokoh agama, pemuda, dan tokoh adat akan memastikan bahwa pendekatan ini diterima dengan baik oleh masyarakat setempat.
Refleksi dari implementasi strategi berbasis desa dan kearifan lokal menunjukkan bahwa perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil di tingkat komunitas. Dengan fokus pada pendidikan, dialog, dan penguatan institusi lokal, Indonesia dapat mencapai indeks kebebasan beragama yang lebih tinggi sekaligus menjaga harmoni yang menjadi ciri khasnya.
Tantangan kehidupan beragama akan selalu ada, tetapi dengan kerja sama yang erat dan komitmen terhadap nilai-nilai moderasi, kita dapat menjadikan keberagaman sebagai kekuatan yang mempersatukan bangsa.
*Dr. Muh Khamdan, Instruktur Nasional Moderasi Beragama