HALO JEPARA- Wacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terus menjadi topik perdebatan hangat di ruang publik.
Usulan ini bahkan dimunculkan oleh Presiden Prabowo Subianto, dengan dalih menghemat biaya dan mereduksi konflik sosial yang kerap terjadi dalam pilkada langsung. Akan tetapi, apakah langkah ini benar-benar sejalan dengan semangat demokrasi, ataukah justru mencerminkan kemunduran prinsip kedaulatan rakyat?
Sejak diberlakukannya pilkada langsung pada 2005, Indonesia telah memberikan ruang yang lebih besar bagi masyarakat untuk menentukan pemimpin lokalnya secara langsung.
Mekanisme ini dinilai dapat memperkuat legitimasi kepala daerah karena mandat yang diterima berasal langsung dari rakyat, bukan dari elite politik di DPRD. Pemilihan langsung juga mendorong akuntabilitas karena kepala daerah lebih bertanggung jawab kepada pemilih, bukan kepada partai politik atau kelompok tertentu.
Sebaliknya, pemilihan melalui DPRD berpotensi memperbesar politik transaksional. Dalam konteks ini, keputusan anggota DPRD dapat dipengaruhi oleh tekanan sekaligus kepentingan dari partai atau kelompok tertentu.
Praktik parpol tersebut pada akhirnya melemahkan transparansi dan akuntabilitas proses pemilihan. Hal ini tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik, tetapi juga mengikis fondasi demokrasi itu sendiri.
Argumen penghematan biaya seringkali digunakan untuk mendukung wacana perubahan praktik pemilihan langsung. Memang, biaya pilkada langsung tidak kecil, terutama di wilayah dengan jumlah pemilih yang besar. Namun, efisiensi anggaran tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengorbankan kualitas demokrasi.
Pilkada langsung adalah investasi jangka panjang dalam membangun sistem politik yang inklusif dan partisipatif. Biaya demokrasi yang mahal jauh lebih baik dibandingkan risiko rendahnya kualitas kepemimpinan akibat proses pemilihan yang tidak transparan.
Klaim bahwa pilkada langsung memicu konflik sosial juga perlu dianalisis secara mendalam. Konflik tidak selalu berasal dari mekanisme pemilihan, tetapi seringkali terkait dengan lemahnya penegakan hukum dan rendahnya literasi politik masyarakat.
Solusi terbaik bukan menghapus pilkada langsung, melainkan memperbaiki tata kelola pemilu dan meningkatkan pendidikan politik masyarakat.
Jika tujuan utama adalah meningkatkan efisiensi dan mengurangi konflik tanpa mengorbankan demokrasi, ada beberapa alternatif yang bisa dipertimbangkan. Pilkada elektronik misalnya, dapat dilakukan dengan mengadopsi teknologi digital dalam pemilu untuk mengurangi biaya operasional dan meminimalkan potensi kecurangan.
Pilkada Elektronik (e-Voting) melalui pemanfaatan teknologi digital dapat mengurangi biaya operasional seperti pencetakan surat suara, distribusi logistik, dan pemungutan suara manual. Sistem e-voting yang terintegrasi juga dapat meminimalkan manipulasi suara karena data tercatat secara digital dan terpusat. Namun, implementasi e-voting membutuhkan infrastruktur digital yang kuat dan keamanan siber yang andal.
Peningkatan pendidikan politik juga mesti dilakukan dengan pembuatan program literasi politik yang berkelanjutan untuk meningkatkan partisipasi dan pemahaman masyarakat tentang proses demokrasi.
Pelaksanaan pilkada serentak 5 tahun sekali memungkinkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dibentuk secara adhoc. Pelembagaan secara adhoc tentu memangkas sejumlah biaya yang besar karena hampir 3 tahun dapat dianggap tidak ada kegiatan, termasuk program pembudayaan politik yang baik.
Mengembalikan mekanisme pilkada kepada DPRD dapat membawa kita ke masa di mana demokrasi lebih elitis dan eksklusif. Langkah ini mungkin efisien secara finansial, tetapi mahal secara demokratis.
Dalam membangun bangsa yang demokratis, kita harus berani berinvestasi pada sistem yang memberi ruang bagi rakyat untuk bersuara, bukan malah membatasi hak-hak tersebut. Solusi terbaik adalah memperbaiki sistem pilkada langsung, bukan menghapusnya. Karena pada akhirnya, demokrasi bukan hanya tentang efisiensi, tetapi juga tentang kedaulatan rakyat.
Dr. Muh Khamdan, Pemerhati Sosial Politik dan Budaya