Opini  

Kegalauan Pemda di Tengah Tekanan Fiskal

Dr. M. Kholidul Adib, SHI, MSI
Dr. M. Kholidul Adib, SHI, MSI

Kegalauan Pemda di Tengah Tekanan Fiskal

HALO JATENG- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berencana menggunakan Retret Sekretaris Daerah dan Kepala Bappeda di kampus IPDN Jawa Barat pada 26-29 Oktober 2025.

Salah satu latar belakang kegiatan retret tersebut adalah untuk memfasilitasi kegundahan pemerintah daerah (Pemda) dalam menghadapi tekanan fiskal pada tahun 2026.

Selama ini ada kesan Pemerintah daerah (Pemda) kurang maksimal dalam mencari dana selain mengandalkan kucuran dana dari pusat. Padahal Pemerintah Daerah sedang menghadapi tekanan fiskal yang signifikan pada tahun 2026 akibat pemotongan dana Transfer Ke Daerah (TKD) dari Pemerintah Pusat.

Pemotongan ini diperkirakan mencapai 25% dari anggaran sebelumnya. Akibatnya sangat berpotensi menimbulkan guncangan ekonomi dan sosial di tingkat daerah.

Dampak Pemotongan TKD adalah ada pengurangan layanan publik. Akibatnya Pemda akan mengurangi layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Tekanan fiskal juga dapat berdampak pada Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga pemerintah daerah mungkin perlu menambah pungutan atau mencari sumber pendanaan lain dari masyarakat.

Kasus demonstrasi rakyat Pati yang menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan pada bulan Agustus lalu, merupakan bagian dari dampak tekanan fiskal di daerah.

Untuk itu Pemda harus kreatif untuk bisa mendapatkan tambahan dana tanpa menaikkan pajak yang dapat menambah beban rakyat. Satu sisi tekanan fiskal akan sangat berdampak pada keterlambatan pembangunan sehingga para kepala daerah yang sudah kadung janji saat pilkada akan dinilai lamban atau gagal dalam memimpin.

LIHAT JUGA :  Progam Pekan Peduli Sosial 2024 Baznas Jepara Berhasil Kumpulkan Rp 1,3 Miliar, Lebihi Target Awal

Di sinilah kejeniusan pemerintah daerah akan diuji. Apakah tekanan fiskal akan semakin berdampak pada banyaknya program pembangunan yang tertunda atau bahkan dibatalkan karena keterbatasan dana, ataukah kondisi ini akan membuat pemerintah daerah semakin terpacu untuk membuktikan kemampuannya dalam membangun di tengah krisis fiskal?

Jika pemerintah tidak inovatif dan tidak kreatif maka akan membuat kepala daerah dianggap kurang berhasil melaksanakan janji-janjinya saat pilkada.

Sebaliknya jika kepala daerah mampu membuat terobosan inovatif dan kreatif di tengah kondisi tekanan fiskal maka dia akan mampu melaksanakan program-programnya dengan baik dan akan dianggap sebagai pemimpin jenius.

Bagaimana sebaiknya Pemda menghadapi Tekanan Fiskal? Caranya adalah Pemda harus menata ulang prioritas belanja.

Pemda perlu memprioritaskan belanja yang lebih produktif dan mengurangi belanja yang tidak perlu, seperti biaya rapat, biaya perjalanan dinas, acara seremonial dan belanja-lain yang kurang prioritas.

Selanjutnya Pemda perlu mengoptimalkan potensi pajak daerah untuk dapat meningkatkan pendapatan dengan mengoptimalkan potensi pajak daerah tanpa membebani masyarakat kecil.

Pemda juga perlu koordinasi dengan Pemerintah Pusat untuk mencari solusi dan mendapatkan dukungan dalam menghadapi tekanan fiskal.

LIHAT JUGA :  Refleksi Natal 2024: Jepara dan Kebebasan Beragama Berbasis Desa

Di sinilah Retret Sekda dan Bappeda menjadi penting. Jangan sampai Bappeda hanya menjadi badan pengumpul program daerah yang hanya mengumpulkan program-program dinas atau kantor Pemda, kalau ada duit ya program akan dikerjakan, kalau tidak ada duit ya dihapus.

Ini cara berfikir orang malas yang tanpa berupaya mencari solusi atau terobosan inovatif dan kreatif supaya program bisa dijalankan di tengah keuangan yang terbatas.

Urgensi Retret Sekda dan Kepala Bappeda

Untuk itu retret yang akan diadakan tanggal 26-29 Oktober di IPDN dengan peserta Sekda dan Kepala Bappeda diharapkan akan membekali sekda dan kepala Bappeda dengan wawasan yang dapat mengatasi persoalan tekanan Fiskal pada tahun 2026.

Retret Sekda dan Kepala Bappeda sangat penting untuk meningkatkan kapasitas dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah.

Berikut beberapa yang harus dilakukan Pemda dalam hal ini sekda dan Bappeda yaitu:

1. Meningkatkan Koordinasi. Retret dapat memperkuat koordinasi antara Sekda dan Bappeda dalam menyusun perencanaan pembangunan daerah yang selaras dengan target nasional.
2. Penguatan Kapasitas. Retret dapat menjadi kesempatan bagi Sekda dan Bappeda untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan dalam mengelola birokrasi dan pembangunan daerah.
3. Menumbuhkan Sinergi. Retret dapat membantu menumbuhkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.
4. Peningkatan Efektivitas Birokrasi. Retret dapat membantu meningkatkan efektivitas birokrasi pemerintahan daerah dengan memperbaiki sistem dan proses kerja.
5. Namun, retret juga harus diiringi dengan pendampingan teknis yang terstruktur dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa hasilnya dapat diimplementasikan dengan baik di daerah.
6. Selain itu, retret juga harus difokuskan pada peningkatan kapasitas dan integritas Sekda, serta akselerasi reformasi birokrasi.

LIHAT JUGA :  Surat Edaran Baru, Keadilan dan Kesetaraan dalam Dunia Kerja Masih Semu

Mengatasi Kegalauan Pemda

Ketika banyak Pemda yang galau dan menyimpan uang yang berlebihan untuk cadangan tahun depan justru akan membuat mereka lamban dalam membangun. Maka sebaiknya Pemda jangan galau.

Kuncinya adalah pada kemampuan kepala daerah dalam membuat skala prioritas baik dari sisi pendapatan maupun belanja, maka butuh kecermatan, inovasi dan kreativitas dalam upaya meningkatkan pendapatan maupun dalam belanja keuangan daerah.

Dalam membelanjakan keuangan daerah, Pemda harus memprioritaskan pada pembangunan yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat banyak misalnya jalan protokol, sarana pendidikan dan kesehatan.

Rakor Sekda dan Bappeda yang difasilitasi Kemendagri tanggal 26-29 Oktober 2025 di IPDN bagian dari upaya fasilitasi Kemendagri terhadap aspirasi Pemda yang sedang menghadapi tekanan fiskal. Semoga ada hasil nyata untuk pembangunan bukan sekadar kumpul-kumpul yang menghambur-hamburkan uang negara. (*)

Dr. M. Kholidul Adib, SHI, MSI

Pengamat kebijakan publik dan Direktur Eksekutif The Justice Institute