Antara Adab dan Rating, Ketika Pesantren Ditelanjangi oleh Media Lewat Xpose Uncensored
HALO JATENG- Kemarahan publik terhadap Trans7 bukan sekadar reaksi sesaat di jagat maya. Tayangan Xpose Uncensored bertajuk “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?” telah memantik luka kultural yang dalam. Tayangan itu dianggap menyinggung martabat pesantren, melecehkan tradisi santri, dan menafsirkan penghormatan spiritual sebagai bentuk feodalisme.
Dalam hitungan jam, tagar #BoikotTrans7 menjelma menjadi gelombang perlawanan digital yang meluas di kalangan santri, alumni pesantren, hingga masyarakat umum.
Trans7 akhirnya meminta maaf. Direktur Produksi, Andi Seril, mengakui ada kelalaian dalam proses kurasi dan pengawasan konten dari rumah produksi eksternal. Namun bagi kalangan pesantren, permintaan maaf itu belum menyentuh akar masalah: bagaimana budaya mereka dipahami dan dihadirkan secara tidak adil di ruang publik.
Ada yang lebih dalam dari sekadar kelalaian redaksional, yaitu bias budaya dalam cara media melihat dunia pesantren.
Program Xpose uncensored menggambarkan santri yang jongkok saat menerima sesuatu dari kiai, berebut jeruk yang dianggap membawa berkah, hingga mencuci dan mengelap rumah sang guru. Adegan-adegan itu dikemas dengan nada sinis, seolah menggambarkan praktik perendahan martabat manusia.
Padahal, bagi pesantren, tindakan seperti itu adalah bentuk pengabdian dan adab. Di situ letak jurang makna: media melihatnya sebagai penundukan, pesantren memaknainya sebagai kehormatan.

Inilah yang disebut konflik budaya simbolik, benturan antara makna internal suatu tradisi dan interpretasi eksternal oleh pihak luar. Pesantren hidup dalam sistem nilai yang membangun relasi spiritual, bukan hierarki sosial. Kiai bukan penguasa, melainkan murabbi ruhani, pembimbing jiwa.
Santri tidak tunduk karena terpaksa, tapi karena cinta. Namun ketika kacamata modern memotret relasi itu dengan logika kekuasaan, pesantren tampak seperti feodalisme yang diperhalus.
Reaksi santri yang memboikot Trans7 adalah upaya mempertahankan martabat simbolik. Dalam perspektif psikologi sosial, ini disebut collective identity defense pembelaan spontan terhadap simbol yang dianggap suci dalam komunitas.
Ketika satu nilai pokok seperti penghormatan terhadap guru dilecehkan, komunitas akan merespons bukan dengan argumen, tapi dengan sikap emosional kolektif. Dalam konteks ini, #BoikotTrans7 menjadi wujud solidaritas kultural.
Namun di balik gelombang amarah, ada refleksi yang mesti dihidupkan dari kalangan pesantren sendiri. Tayangan itu, betapapun menyakitkan, adalah cermin tentang bagaimana pesantren tampil di mata publik. Apakah pesantren sudah cukup terbuka menjelaskan makna nilai-nilai yang mereka jaga?
Apakah mereka sadar bahwa dunia luar kini menatap mereka lewat kamera, bukan kitab kuning? Di era keterbukaan digital, simbol-simbol tradisional tak lagi bisa dibiarkan berbicara sendiri.
Pesantren selama ini nyaman dengan kesunyian dan keheningan moralnya. Tetapi dunia digital memaksa tradisi itu tampil di layar dengan logika berbeda, kecepatan, kehebohan, dan visualisasi ekstrem.
Ketika pesantren tidak mengendalikan narasi dirinya, pihak lain akan melakukannya, seringkali tanpa pemahaman. Di sinilah letak bahaya eksploitasi budaya santri, ketika tradisi luhur dipangkas menjadi tontonan eksotik demi rating.
Gus Dur pernah menyebut pesantren sebagai subkultur, dunia kecil dengan sistem nilai dan moralitas yang berbeda dari arus utama. Ia hidup di dalam masyarakat, tapi memiliki alam pikir sendiri.
Dalam logika subkultur, pesantren adalah oase spiritual di tengah gurun modernitas. Namun oase itu kini disorot lampu kamera yang sering kali lebih haus sensasi ketimbang makna.
Konflik antara pesantren dan media seperti Trans7 ini menunjukkan belum terbangunnya literasi budaya lintas komunitas. Media memproduksi narasi dengan logika pasar, sementara pesantren hidup dengan logika nilai.
Ketika dua logika ini bertemu tanpa jembatan pemahaman, yang muncul bukan dialog, melainkan benturan. Tayangan itu hanyalah puncak gunung es dari persoalan yang lebih dalam: krisis empati antarbudaya di negeri yang majemuk ini.
Namun introspeksi tidak boleh berhenti pada pihak media saja. Pesantren pun perlu menata cara dirinya dilihat. Tradisi adab, penghormatan, dan spiritualitas bisa tetap dijaga tanpa harus ditampilkan secara ekstrem atau eksploitatif di ruang publik.
Dunia pesantren mesti belajar memfilter mana nilai yang pantas ditampilkan, mana yang sebaiknya tetap dijaga sebagai ruang sakral. Tidak semua hal yang luhur layak disiarkan, apalagi disajikan sebagai hiburan.
Di sisi lain, media perlu mengingat bahwa kebebasan berekspresi bukanlah izin untuk menertawakan keyakinan orang lain. Dalam jurnalisme budaya, ada prinsip yang disebut empat pilar sensitivitas, meliputi empati, konteks, keadilan, dan kedalaman. Tanpa keempatnya, kamera bisa menjadi alat penindasan baru, yang lebih tajam dari senjata, karena menusuk martabat.
#BoikotTrans7 seharusnya menjadi momentum rekonsiliasi kultural, bukan hanya aksi protes. Media dan pesantren sama-sama memikul tanggung jawab membangun jembatan pemahaman baru. Dunia pesantren bisa menjadi sumber nilai-nilai moral, sedangkan media bisa menjadi penghubung makna yang menjangkau publik luas. Yang dibutuhkan kini adalah dialog antar nilai, bukan saling menuding.
Kasus ini akhirnya mengingatkan kita bahwa bangsa yang besar tidak diukur dari seberapa modern ia menilai tradisi, tetapi dari seberapa dalam ia menghormati kebijaksanaan yang lahir dari akar budayanya.
Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tapi pusat peradaban moral yang telah membentuk watak bangsa selama berabad-abad. Menertawakan pesantren berarti menertawakan bagian dari jati diri Indonesia sendiri. (*)
Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Perdamaian UIN Jakarta; LTNNU MWCNU Nalumsari Jepara










