Dari Kitab Kuning ke Cloud Data: Santri dan Revolusi Keilmuan Baru
HALO JATENG- Setiap kali bulan Oktober tiba, gema Hari Santri menggaung di seluruh penjuru negeri. Pesantren yang dulu menjadi benteng moral sekaligus basis perjuangan fisik melawan penjajahan, kembali dielu-elukan sebagai pilar Islam Nusantara. Namun di balik gegap gempita itu, ada ruang refleksi yang mendesak dibuka.
Apakah santri hari ini masih menjadi subjek pembawa perubahan sosial sebagaimana para pejuang masa lalu, atau justru sekadar simbol romantisme masa silam yang terjebak dalam nostalgia spiritual?
Sejarah menunjukkan, ketika Republik ini baru lahir dan tengah mencari bentuk modernitasnya, kaum santri lebih banyak hadir di medan pertempuran daripada di meja diplomasi. Mereka yang teguh berjihad di garis depan, berhadapan dengan peluru penjajah, lebih mengandalkan “jalur langit” ketimbang diplomasi rasional.
Dalam konteks sosiologi budaya, ini memperlihatkan corak spiritualisme kolektif khas pesantren. Kepercayaan mendalam bahwa kekuatan gaib dan doa lebih sakti dari politik realis.
Namun, konsekuensinya juga nyata. Saat kemerdekaan menuntut administrasi, regulasi, dan representasi internasional, kalangan santri tertinggal. Hanya segelintir yang memiliki literasi bahasa Eropa, apalagi pemahaman geopolitik modern.
Delapan gubernur pertama Indonesia tak satupun dari kalangan pesantren. Dari 17 menteri pertama yang dilantik, hanya dua yang santri, yaitu KH. Wahid Hasyim sebagai menteri tanpa kementerian dan Abikoesno Tjokrosujoso sebagai menteri perhubungan pekerjaan umum. Santri, pada masa awal kemerdekaan, belum dianggap bagian dari mesin modernisasi negara.
Kementerian Agama yang mestinya menjadi rumah besar bagi aspirasi santri, baru lahir pada 3 Januari 1946, bukan pada kabinet pertama 1945. Ini menandakan bagaimana posisi sosial-keagamaan masih dipandang sebagai pelengkap, bukan fondasi negara modern.
Dalam analisis antropologi politik, relasi antara negara dan santri pasca-kemerdekaan bersifat simbolik: diakui secara moral, tapi tidak diintegrasikan secara struktural.
Delapan puluh tahun setelah Indonesia merdeka, santri memang telah berhasil menembus puncak kekuasaan, melalui Gus Dur sebagai presiden ke-4 dan KH. Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden ke-13. Tetapi jika ditilik secara kultural, kualitas kehidupan pesantren masih menyimpan ironi.
Tragedi ambruknya asrama Pondok Al-Khoziny di Sidoarjo yang menewaskan puluhan santri menjadi potret getir. Masih banyak pesantren yang gagap terhadap standar keselamatan dan kesehatan lingkungan.
Sebagian besar pesantren masih menempatkan aspek spiritual sebagai pusat, sementara dimensi ekologis, arsitektural, dan teknologi sebagai pinggiran. Dalam perspektif antropologi ruang, pesantren masih mempertahankan tata kehidupan yang “tradisional-spiritual”.
Berbau kesederhanaan namun juga menyisakan aroma tak sedap dari kamar mandi yang pesing dan jemuran yang semrawut. Dalam dunia yang kini digerakkan oleh prinsip keberlanjutan (sustainability), santri seolah belum benar-benar memasuki ranah “fiqih lingkungan”.
Padahal, teori sosiologi budaya menegaskan bahwa nilai-nilai religius hanya bertahan jika mampu menyesuaikan diri dengan perubahan struktur sosial. Dunia hari ini bergerak di era VUCA, Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity.
Ketika algoritma menjadi sumber otoritas baru dan kecerdasan buatan menggantikan cara berpikir linear, santri tidak cukup hanya hafal kitab kuning, tetapi juga harus fasih membaca data, mengelola informasi, dan menafsirkan realitas digital dengan ruh keilmuan Islam.
Ironisnya, ketika dunia membuka ruang-ruang kolaborasi teknologi, banyak pesantren masih berdebat soal boleh tidaknya santri bermain media sosial. Akibatnya, representasi santri di ruang digital sering kali justru dimonopoli oleh narasi eksternal.
Ketika sebuah tayangan televisi seperti Trans7 menyoroti hubungan kyai-santri sebagai bentuk feodalisme, sebagian kalangan marah, tetapi tidak ada upaya sistematis untuk menjelaskan secara akademis bahwa struktur penghormatan di pesantren adalah bagian dari etika epistemologis, bukan hierarki sosial.
Santri hari ini harus melampaui posisi sebagai pewaris tradisi menjadi penggerak peradaban. Di setiap masjid mestinya ada klinik kecil yang dikelola santri-dokter. Di setiap pesantren, mesti tumbuh lembaga keuangan syariah yang diurus santri-bankir.
Di setiap ruang belajar, lahir santri-arsitek yang menata ruang publik sesuai kaidah fiqih najasah sekaligus prinsip eco-friendly. Itulah bentuk baru jihad keilmuan sesungguhnya, membumikan Islam dalam teknologi dan membangun teknologi dengan etika Islam.
Presiden Prabowo Subianto, dalam arahannya tentang beasiswa LPDP dari dana sitaan korupsi CPO sebesar 13 triliun rupiah, telah memberi sinyal kuat bahwa negara ingin mencetak generasi emas 2045. Maka santri tak boleh sekadar menjadi penonton yang berdoa dari kejauhan.
Mereka harus menjadi penerima beasiswa, peneliti, insinyur, dan diplomat yang menjembatani nilai-nilai Islam Nusantara dengan sains global.
UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menjadi tonggak pengakuan formal negara terhadap eksistensi pesantren. Tetapi regulasi tanpa transformasi hanyalah mitos administratif. Banyak Perda Pesantren yang disahkan, namun tak berjalan karena minim turunan dan lemahnya political will daerah.
Negara memang telah memberi afirmasi, tetapi apakah pesantren sudah siap menerima modernitas tanpa kehilangan ruh keislamannya?
Menjelang delapan dekade Indonesia merdeka, pesantren dihadapkan pada pilihan. Tetap nyaman di zona romantisme spiritual atau berani melangkah ke arena peradaban dunia. Dunia menunggu santri bukan karena sarungnya, tapi karena kontribusinya. Sebuah peradaban tidak bisa dijaga hanya dengan doa dan karomah.
Ia memerlukan struktur pengetahuan, sistem kebersihan, dan manajemen modern. Jika bau kamar mandi saja belum teratasi, bagaimana mungkin kita bicara tentang mengawal peradaban dunia?
Dr. Muh Khamdan, Dokor Studi Perdamaian UIN Jakarta; LTNNU MWCNU Nalumsari












