Machiavelli, Politik Identitas vs Politik Kebangsaan di Pilkada Jepara 2024

Pentingnya Membangun Narasi Kebersamaan, Bukan Malah Memantik Polarisasi Masyarakat

Ilustrasi aksi para santri saat menyuarakan aspirasinya menolak narasi yang membentur-benturkan eemen masyarakat di Pilpres 2019.
Ilustrasi aksi para santri saat menyuarakan aspirasinya menolak narasi yang membentur-benturkan eemen masyarakat di Pilpres 2019.

Oleh Hisyam Zamroni*

HALO JEPARA – Menarik sekali membaca tulisan “nakal” sekaligus “serem” kang DR. Muh. Khamdan (MK), — intelektual muda NU, — di salah satu portal lokal yang berjudul; Politik ala Machiavelli dan Arah Dukungan Santri di Pilkada Jepara.

Tulisan kang MK ini mudah dibaca karena langsung “tunjuk hidung”  posisi “siapa”, dimana kang MK berpihak dan “kemana” sasaran tulisan ini ditembakkan. Publik juga akhirnya mudah memahami alasan kang MK mengkaitkan Machiavelli, dukungan santri dan Pilkada Jepara 2024.

Machiavelli adalah fenomena dalam politik dimana banyak orang menganggapnya sebagai pencetus Politik Diktator dan Otoritarian yang disebut oleh kang MK sebagai “Bapak  licik”;  terserah caranya yang penting menang.

Atau dalam ungkapan lain disebutkan bahwa politik bukanlah soal benar atau  salah, tetapi soal menang atau kalah. Lawan model politik Machiavelli sesungguhnya adalah kalangan santri. Begitu logika yang berusaha dibangun kang MK.

LIHAT JUGA :  SOSOK Pemuda Asal Desa Kaliombo Pecangaan Ini Siap Maju Pilbup Jepara 2024

Dari ujaran kang MK tersebut, pernyataan yang  menjadi penasaran banyak pihak adalah apakah Pilkada Jepara “caranya” ada yang berhaluan ala Politik Machiavelli? Bukankah Pilkada Jepara 2024 tetap mengacu pada regulasi yang berlaku? Atau jika mengikuti alur pemikiran kang MK, apakah secara umum regulasi tentang Pemilu, Pilpres, dan Pilkada di Indonesia “mambu-mambu” ala Politik Machiavelli?

Jika kita mengikuti alur pemikiran politik ala Machiavelli yaitu bagaimana cara “merebut dan berkuasa”, maka cara yang digunakan  tidak hanya dengan adanya pasukan yang besar, sistem, dan politik yang kuat  bahkan “agama” pun bisa dijadikan cara untuk merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan sehingga pemimpin tidak butuh “pujian” tapi butuh legitimasi dan kekuatan penuh untuk berkuasa.

Politik Ke-Indonesia-an 

Indonesia dengan ragam suku, ras, agama, dan budaya sudah selesai dengan “politik identitasnya”  yang berganti dengan Politik Pancasila,  Politik Kebangsaan, atau Politik Ke-Indonesia-an yang secara spesifik tidak akan ada lagi muncul istilah Politik Abangan, Politik Priyayi dan Politik Santri bahkan Politik Agama. Dan hal itu juga berlaku untuk kondisi di Jepara.

LIHAT JUGA :  Komisioner Bawaslu Jepara Dinarasikan Dukung Gus Nung-Iqbal di Pilkada 2024, Ini Respon Ali Purnomo

Konsekwensinya dalam kompetisi Pilkada Jepara  2024 jika ada kubu yang berusaha menyodorkan kembali “Politik Identitas” justru akan mencederai Politik Pancasila, Politik Ke-Indonesia-an atau Politik Kebangsaan.  Ketika masih ada kubu yang menggunakan pola politik identitas boleh jadi justru telah menggunakan “cara”  berpolitik ala Machiavelli.

Pilkada Jepara Membangun Kebersamaan 

Imajinasi dan mindset kita dalam Pilkada Jepara 2024 adalah membangun kebersamaan untuk Jepara baru dan lebih maju.

Kita semua harus yakin bahwa semua calon Bupati dan Wakil Bupati Jepara sekarang ini adalah kader kader muda terbaik Jepara yang memiliki niat mengabdi dan berbuat untuk Jepara. Tujuannya agar menjadi Jepara yang baru dan lebih maju.

Tentu saja caranya harus dengan “mensosialisasikan” paslon jagoannya, mengedepankan visi, misi, dan program program unggulan membangun Jepara yang menjadi daya tarik kepada konstituen atau pemilih.

LIHAT JUGA :  Kader Senior Gerindra Purwanto Siap Maju Pilkada Jepara, Bawa Gerbong Partainya

Membangun narasi Pilkada Jepara yang; ayem, tentrem, mesem dan barokah harus tertanam bagi  semua masyarakat Jepara yang multikultural dan multi-agama. Jepara adalah kita dan kita adalah Jepara. Jangan ada yang berfikir:  “liyan/wong liyo”, polarisasi dan bias dalam Pilkada Jepara.

Kita semua wong Jepara tidak ingin Pilkada Jepara, nantinya  akan  meninggalkan jejak “ketidaknyamanan” saat berinteraksi dengan saudara, teman, tetangga dan masyarakat akibat cara kita “menawarkan” cabup dan cawabup yang kurang  santun.

Semoga tidak ada yang menggunakan negatif champaign atau black champaign untuk menyerang paslon lain, hanya demi menggunggulkan paslon yang didukungnya.

Bukankah kita semua ini sauudara, sama-sama warga Jepara? Pilkada Jepara itu tiap lima tahun sekali, tapi paseduluran itu selawase.

*Pemerhati Sosial dan Budaya Jepara