Jateng  

Kiai Sholeh Darat, Perang Diponegoro dan Kaderisasi Ulama Pejuang Kemerdekaan

Kiai Sholeh Darat, Perang Diponegoro dan Kaderisasi Ulama Pejuang Kemerdekaan
Kiai Sholeh Darat, Perang Diponegoro dan Kaderisasi Ulama Pejuang Kemerdekaan

HALO JATENG- Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Semarang menyampaikan usulan panitia pengusulan KH Sholeh Darat sebagai Pahlawan Nasional ke Walikota Semarang, Dr. Agustina Wilujeng, di aula Universitas Wahid Hasyim (Uhwahas) Semarang, Sabtu (10/5/2025).

Usulan PCNU Kota Semarang tersebut adalah bagian dari tahapan prosedur pengusulan gelar pahlawan nasional sesuai Undang-undang Nomor 20 tahun 2009.

Kiai Sholeh Darat memang layak diusulkan mendapatkan gelar pahlawan nasional karena kiprah dan perjuangannya dalam mendidik para ulama pejuang kemerdekaan.

Pergerakan ulama pada awal abad ke-20 dalam mewujudkan kemerdekaan dipelopori oleh para murid dan keturunan Pengeran Diponegoro dan pasukannya, termasuk para murid KH Sholeh Darat.

Kondisi Bangsa Pasca Perang Diponegoro

Kondisi sosial politik pasca Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro (tahun 1925-1830 M) ditandai adanya pelemahan gerakan perlawanan para pendukung Pangeran Diponegoro yang kebanyakan dari kalangan santri.

Pihak keraton diwanti-wanti agar tidak berhubungan dengan para pendukung Pangeran Diponegoro terutama dari kalangan ulama dan santri. Bahkan hubungan keraton dengan keturunan Pangeran Diponegoro sempat memburuk.

Sejak itu, kalangan ulama mulai dibelah karena jika ulama dan orang keraton (priyayi) bersatu maka Belanda akan kesulitan untuk mengalahkannya dan itu yang terjadi selama perang Diponegoro. Kondisi yang sama juga terjadi sejak Sultan Agung menyerang VOC di Batavia hingga perang Diponegoro. Kekuatan pribumi susah dikalahkan jika keraton dan ulama bersatu.

Strategi Belanda membelah keraton agar jauh dari pesantren akhirnya berhasil. Jika sebelumnya keraton dan pesantren menyatu namun setelah perang Diponegoro terpisah. Belanda semakin berhasil menancapkan pengaruhnya di keraton. Sedangkan para ulama pesantren semakin jauh di pedalaman menyelamatkan diri dan membangun kekuatan untuk melawan.

LIHAT JUGA :  CARA Daftar Seleksi CPNS dan PPPK 2024, Dibuka Agustus Ini

Keberhasilan Belanda membelah keraton dan pesantren tidak hanya dalam wilayah politik tetapi juga pemahaman keagamaan. Sistem kepercayaan orang Keraton aliran abangan dengan menarik garis pemahaman keagamaan kepada Syekh Siti Jenar yang tidak ketat dalam mengamalkan syariat Islam.

Sementara para ulama dan santri (kalangan pesantren) sangat ketat dalam mengamalkan syariat Islam dengan menarik garis pemahaman keagamaan kepada Walisongo.

Hingga sekarang polarisasi keagamaan antara kalangan keraton dan pesantren masih dapat dirasakan. Padahal sekarang ketika Indonesia sudah merdeka mestinya hubungan keraton dan pesantren dapat direkonsillasi.

Hal itu sebagaimana rekonsiliasi antara keturunan Pangeran Diponegoro dengan pihak keraton sudah membaik setelah dimediasi oleh Presiden Soekarno sehingga keturunan Pangeran Diponegoro bisa kembali menginjakkan kaki di keraton.

KH Sholeh Darat
KH Sholeh Darat

Kaderisasi Ulama Pejuang Pasca Diponegoro 

Belanda mengejar sisa-sisa pasukan Diponegoro terutama para ulama dan kaum santri yang susah ditundukkan.

Agus Sunyoto menyebut setidaknya ada 121 pemberontakan ulama di berbagai daerah setelah perang Diponegoro.
Sisa-sisa pasukan perang Diponegoro juga banyak yang melakukan perang gerilya sehingga banyak yang sembunyi di daerah-daerah terpencil dan membangun gerakan perlawanan bawah tanah atau istilahnya melawan dengan strategi benteng pendem.

Salah satu langkah dalam strategi benteng pendem, selain melakukan penyerangan secara tiba-tiba kepada musuh, adalah membangun kaderisasi para pejuang untuk terus melakukan perlawanan kepada penjajah.

Para ulama penerus perjuangan Pangeran Diponegoro masih membangun jaringan sel-sel perlawanan dengan sandi pohon sawo yang ditanam di depan masjid, mushola atau rumah kiai.

LIHAT JUGA :  RESMI, UMK Jepara 2025 Tertinggi Kedua di Eks Karisidenan Pati, Naik 6,5 Persen Jadi Rp 2.610.224,00

Di antara tokoh yang gigih menjalankan strategi perlawanan benteng pendem adalah KH Ismail (Godo Jamus Demak) dan KH Muhammad Hadi (Girikusumo Mranggen Demak).

Keduanya adalah ulama kondang yang masih memiliki hubungan kerabat (saudara ipar) yang masih aktif melakukan strategi benteng pendem melawan penjajah setelah perang Diponegoro.

KH Ismail dan kakak iparnya, KH Muhammad Hadi Girikusumo Mranggen, termasuk KH Thoyib Sadeng Gunungpati, menilai kaum santri butuh konsolidasi usai perang Diponegoro. Dibutuhkan sosok figur kedalaman ilmu, ketokohan dan jaringan luas untuk dapat menyiapkan kader-kader santri sekaligus pejuang di masa mendatang.

KH Muhammad Hadi Girikusumo Mranggen saat menunaikan ibadah haji bertemu dengan KH Sholeh Darat. Saat itu Kiai Sholeh Darat mengajar di Makkah.

Mbah Hadi menilai keilmuan Kiai Sholeh Darat akan lebih tepat jika diajarkan di pulau Jawa yang saat itu butuh banyak orang alim untuk mendidik para santri.

Tapi karena Kiai Sholeh Darat sudah terikat kontrak maka tidak bersedia karena jika dipaksakan akan ketahuan. Oleh karena itu dicarilah strategi tertentu. Akhirnya Kiai Sholeh Darat dimasukkan peti dan dibawa pulang ke Jawa.

Kiai Sholeh Darat sempat ketahuan di Singapura. Namun dengan berbagai upaya akhirnya bisa sampai pulau Jawa. Kiai Sholeh Darat sempat mengajar di Purworejo kemudian pindah ke Semarang.

KH Ismail Jamus Godo Jamus bersama Mbah Hadi Girikusumo dan KH Thoyib Sadeng Gunungpati berharap kepada Kiai Sholeh Darat melakukan kaderisasi pergerakan kaum santri melawan penjajah Belanda.

LIHAT JUGA :  Ratu Kalinyamat Pahlawan Nasional, Pemkab Jepara Apresiasi Kiprah Lestari Moerdijat

Tahun 1870 KH Sholeh Darat menetap di Kampung Darat Semarang dan membuka pondok pesantren. Kiai Sholeh Darat adalah cucu dari Mbah Mutamakkin Kajen, salah seorang panglima Diponegoro.

Seketika pondok pesantren Kiai Sholeh Darat langsung populer dan mendapatkan banyak santri di antaranya KH Hasyim Asya’ari (Pendiri NU), KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), KH Abdullah Sajad, KH Abdullah Mudzakir, RA Kartini, dan lainnya.

Kiai Sholeh Darat wafat pada hari Jumat Wage 18 Desember 1903 atau 28 Ramadan 1321 H di Kota Semarang..Kiai Sholeh Darat dimakamkan di pemakaman umum Bergota, Semarang.

Para santri Kiai Sholeh Darat kemudian tumbuh berkembang sebagai para ulama pejuang kemerdekaan.

Ketika pasukan Sekutu memasuki Jawa pada bulan Oktober 1945, ulama di Surabaya maupun di Semarang terjun ke medan laga melawan penjajah. Diketahui ternyata ulama yang angkat senjata itu memiliki pertautan dengan kaderisasi Kiai Sholeh Darat.

Diponegoro telah melahirkan jaringan ulama. Jaringan ulama yang anti Belanda ini terus mengkristal hingga tahun 1926 berdiri Nahdlatul Ulama (NU). Para ulama pendiri NU mayoritas adalah para cucu tokoh pergerakan yang memiliki hubungan erat dan kekerabatan karena simbah-simbahnya dulu adalah sama-sama pendukung perang Diponegoro.

Peran penting para ulama pejuang saat perang kemerdekaan ini tak bisa dilepaskan dari kiprah Kiai Sholeh Darat membangun kaderisasi para ulama pejuang kemerdekaan. Oleh karena itu tak berlebihan jika  Kiai Sholeh Darat dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. []

*M Kholidul Adib, Ketua Lembaga Ta’lif Wan Nashr PCNU Kota Semarang