Anatomi Amuk Massa di Jepara: Dari Aspirasi hingga Anarki

Anatomi Amuk Massa di Jepara: Dari Aspirasi hingga Anarki
Anatomi Amuk Massa di Jepara: Dari Aspirasi hingga Anarki

Anatomi Amuk Massa di Jepara: Dari Aspirasi hingga Anarki

HALO JEPARA- Gelombang demonstrasi yang melanda sejumlah daerah di Indonesia sejak 25 Agustus 2025 menjadi potret eskalasi politik jalanan yang sulit diprediksi. Jepara, yang selama ini dikenal dengan tradisi damai, religius, dan berakar kuat pada kearifan lokal, ikut terseret dalam arus besar itu. Aksi demonstrasi di depan Mapolres Jepara hingga penyerangan dan penjarahan Gedung DPRD menjadi titik balik yang mengejutkan publik.

Dalam teori anatomi amuk massa, kerusuhan tidak terjadi secara spontan, melainkan melalui tahapan akumulasi ketegangan sosial, pemicu emosional, dan dinamika kolektif yang memunculkan perilaku anarkis. Jepara memberikan studi kasus menarik, bahwa aksi yang semula dipimpin oleh Aliansi Jepara Bersatu sebagai gabungan organ intra maupun ekstra mahasiswa, bergeser menjadi ruang ekspresi frustrasi kolektif, terutama setelah pertandingan Persijap Jepara melawan Arema Malang berakhir tanpa kemenangan, 0-0.

Momentum pasca-pertandingan sepak bola menjadi pemantik penting. Suporter bola yang memiliki basis massa emosional dan solid ikut melebur ke dalam demonstrasi. Dalam konteks anatomi amuk massa, masuknya kelompok dengan ikatan emosional tinggi seperti suporter bola kerap mengubah dinamika dari diskursif ke destruktif. Di sinilah terlihat titik pergeseran, yaitu dari orasi aspiratif menjadi aksi pelemparan batu, kayu, dan pembakaran ban.

Teori amuk massa menekankan bahwa ketika individu berada dalam kerumunan, identitas personal melebur menjadi identitas kolektif. Norma yang biasanya menahan individu dari kekerasan runtuh digantikan oleh norma kerumunan. Pembakaran ban dan pelemparan batu ke arah polisi menunjukkan hilangnya kontrol individual, digantikan solidaritas emosional yang “merestui” tindakan destruktif.

LIHAT JUGA :  Pesta Miras di GBK Hingga Pantai Bandengan, ABG di Jepara Diciduk Polisi

Aksi aparat keamanan dengan gas air mata dan barakuda merupakan langkah mitigasi standar. Namun, dalam anatomi amuk massa, upaya represif justru dapat memperkuat resistensi kelompok yang sudah terpolarisasi. Terbukti, massa terbelah menjadi dua yaitu satu memilih mundur, satu lagi memilih melanjutkan perlawanan hingga tengah malam. Ini menandakan eskalasi masuk ke tahap “konfrontasi lanjutan” yang lebih sulit dikendalikan.

Ketika target perlawanan beralih dari Mapolres ke Gedung DPRD, terlihat adanya pergeseran simbolik. Polisi dilihat sebagai representasi kekuasaan negara yang melindungi sistem, sementara DPRD dipandang sebagai lambang politik lokal yang dianggap gagal memperjuangkan aspirasi rakyat. Penjarahan di gedung DPRD menjadi klimaks, bagaimana amuk massa mencapai puncak dengan destruksi dan perampasan sebagai ekspresi frustrasi politik.

Anatomi Amuk Massa di Jepara: Dari Aspirasi hingga Anarki
Anatomi Amuk Massa di Jepara: Dari Aspirasi hingga Anarki

Tradisi demonstrasi di Jepara sebelumnya jarang sekali berujung anarkis. Mahasiswa Jepara selama ini lebih dikenal dengan pola aksi kultural, yang bahkan mengesankan simbol religius. Maka, pergeseran ke arah kekerasan kali ini dapat dibaca sebagai pecahnya tradisi politik damai, akibat percampuran massa heterogen dan momentum emosi kolektif. Dalam studi perdamaian, kearifan lokal Jepara sesungguhnya menyediakan banyak instrumen resolusi konflik.

LIHAT JUGA :  Kabur dari Jepara, Ditemukan di Madiun Jatim, Begini Kondisi Lansia Asep

Filosofi ukir Jepara yang penuh kesabaran, tradisi gotong royong nelayan, hingga kultur santri yang menjunjung musyawarah mestinya dapat menjadi “rem sosial” terhadap amuk massa. Namun, pada kasus ini, rem itu gagal bekerja, kalah oleh intensitas emosi dan dinamika kerumunan.

Faktor lain yang memperkuat amuk massa adalah kekecewaan mendalam terhadap elit politik dan pejabat publik. Rentetan aksi pembakaran gedung DPR di Jakarta dan DPRD di daerah lain menciptakan efek domino psikologis. Jepara bukanlah episentrum awal, melainkan resonansi dari amuk nasional yang menemukan saluran lokalnya.

Kapolres Jepara yang turun langsung menemui massa menunjukkan adanya pendekatan dialogis. Namun, dalam situasi kerumunan yang sudah terbakar emosi, simbol dialog kehilangan efektivitasnya. Hal ini menegaskan bahwa resolusi konflik dalam konteks amuk massa membutuhkan intervensi sebelum emosi kolektif mencapai titik puncak, bukan setelahnya.

Dari perspektif studi perdamaian, anatomi amuk massa di Jepara memperlihatkan bahwa kekerasan bukan sekadar produk massa yang kehilangan kontrol, melainkan kombinasi dari ketidakpuasan struktural, simbolik, dan momentum emosional. Demonstrasi mahasiswa yang biasanya artikulatif berubah wajah karena bercampur dengan kelompok emosional seperti suporter bola.

Kearifan lokal Jepara mengajarkan filosofi ngemong, yaitu merawat dan menuntun. Suatu pesan budaya yang seharusnya diinternalisasi oleh aparat maupun elit politik. _Ngemong_ dalam konteks ini bukan sekadar meredam, tetapi menciptakan ruang aman bagi aspirasi agar tidak bermuara pada kekerasan. Sayangnya, kanal-kanal aspirasi itu selama ini dianggap tertutup, sehingga aksi jalanan menjadi pilihan.

LIHAT JUGA :  CARA Pemdes Bangsri Atasi Stunting Lewat Bioflok Lele, Hasil Panen Capai 3 Ton, Ada yang Dibagikan Gratis ke Posyandu

Jika dilihat lebih luas, kerusuhan ini bisa menjadi titik balik penting bagi demokrasi lokal di Jepara. Apabila elite politik gagal membaca pesan dari amuk massa, maka tradisi damai Jepara terancam terkikis. Namun sebaliknya, bila ini dijadikan momentum refleksi, maka pendekatan resolusi konflik berbasis kearifan lokal dapat menjadi model unik bagi daerah lain.

Perdamaian yang berkelanjutan tidak lahir dari represi, melainkan dari rekonsiliasi dan penguatan kepercayaan publik. Di sinilah pentingnya melibatkan tokoh lokal, ulama pesantren, sesepuh ukir, hingga komunitas nelayan dalam merajut ulang harmoni sosial. Aksi demonstrasi anarkis di Jepara menunjukkan bahwa ketika jembatan sosial tidak dihidupkan, amuk massa menjadi jalan pintas.

Akhirnya, anatomi amuk massa di Jepara harus dipahami sebagai pelajaran kolektif. Demonstrasi anarkis bukanlah wajah asli Jepara, melainkan distorsi akibat akumulasi ketidakpuasan dan dinamika emosional. Kembali ke akar kearifan lokal, yaitu musyawarah, kesabaran, gotong royong, adalah strategi resolusi konflik yang paling relevan. Jepara perlu kembali meneguhkan dirinya sebagai tanah damai yang mampu mengukir perdamaian, bukan hanya mewariskan ukiran kayu. Aparat mesti tegas bertindak tidak melakukan pembiaran aksi anarkhis, agar eskalasi tidak semakin meluas.

*Dr. Muh Khamdan, Analis Kebijakan Publik, Doktor Studi Perdamaian UIN Jakarta