Revolusi Santri, Syiir dan Fathul Mu’in: KH Ahmad Fauzan Membangun NU Jepara yang Berbasis Ilmu
HALO JEPARA– Suara syiir Asmaul Husna di Bangsri suatu malam di tahun 1950-an terdengar bersahut dengan lantunan nadzam berirama Jawa. Di serambi masjid yang di kelilingi madrasah ibtidaiyah, KH Ahmad Fauzan melantunkan syair yang ia tulis sendiri. Isinya tentang tauhid, adab, dan cinta tanah air, semacam dakwah yang tidak berkhotbah, tetapi mengalun lembut melalui tembang. Dalam setiap baitnya, agama dan budaya tidak saling meniadakan, tetapi saling menundukkan diri, mencari titik temu di hati umat.
KH Ahmad Fauzan lahir di Jepara pada 1905, dari keluarga ulama pejuang yang sarat sejarah dan silsilah spiritual panjang. Ibundanya, Nyai Thohiroh, adalah keturunan dari Yik Arif Banjaran Bangsri, keturunan Sayyid Abdullah Al Adny dari jalur Ba‘alawi Hadhramaut, sedangkan ayahandanya, KH Abdurrasul, seorang pemimpin jamaah haji yang wafat di tanah suci dan dimakamkan di Ma‘la, Makkah, makam yang sama dengan Khadijah Al-Kubra, istri Nabi Muhammad SAW. Dari ayahandanya, Fauzan kecil mewarisi keluasan pandangan tentang dunia Islam. Dari ibunya, kelembutan dakwah khas Yaman yang menjelma dalam bentuk syair dan nadzam.
Ketika kelak memimpin Kementerian Agama Kabupaten Jepara pada 1952, dan menjadi Rais Syuriyah pertama Nahdlatul Ulama Kabupaten Jepara, KH Ahmad Fauzan membawa dua napas besar itu, kesalehan spiritual dari Haromain dan kebijaksanaan sosial dari bumi Jawa. Setidaknya terbaca dalam gaya dakwahnya, Islam yang bertahan bukan yang paling keras, melainkan yang paling lentur. Mampu membungkuk mengikuti angin budaya tanpa patah oleh zaman.
Sejak muda, Fauzan ditempa oleh lingkungan yang keras sekaligus berilmu. Kakeknya, KH. Ahmad Sanwasi, adalah ulama Kasunanan Surakarta sekaligus salah satu panglima perang Pangeran Diponegoro. Dari garis itu mengalir semangat antikolonial yang membuat Fauzan tidak tunduk pada dominasi Belanda dan Jepang. Ia menyaksikan bagaimana pengaruh kolonial mencengkram pendidikan Islam, mengganti madrasah dengan sekolah negeri, dan menyingkirkan kitab kuning dari pelajaran formal.
Namun, berbeda dari kebanyakan tokoh perlawanan, KH. Fauzan memilih diplomasi kultural ketimbang konfrontasi bersenjata. Ia mendirikan madrasah di Bangsri dengan sistem berjenjang, meniru model modern tetapi berjiwa pesantren. Di sana, murid-murid belajar Fathul Mu‘in, tafsir, fiqih, sekaligus membaca syair dakwah ciptaan sang kiai. Dalam satu ruang kelas, bahasa Arab, aksara Jawa, dan logat pesantren berpadu menjadi harmoni keilmuan yang khas Jepara.
Ketika Jepang datang menggantikan Belanda, KH Fauzan tetap mempertahankan madrasahnya. Beliau tahu, penjajah boleh berganti bendera, tapi niatnya tetap sama untuk memutus akar budaya dan agama bangsa ini. Di masa itu, dakwah tidak lagi dilakukan dengan pengeras suara, tapi melalui syi‘ir dan tembang shalawat yang disisipkan dalam kegiatan rakyat. Bagi KH Fauzan, syair

adalah perlawanan halus yang tidak dapat disensor tentara, namun mengena bagi penalaran masyarakat.
Pasca kemerdekaan, Jepara menjadi ladang baru perjuangan. KH. Fauzan dipercaya menjadi kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Jepara (1952), sebuah amanah yang menunjukkan pengakuan negara terhadap integritas ulama pesantren. Tapi beliau tidak pernah melupakan akar. Para kepala KUA di bawah kepemimpinannya adalah orang-orang yang dipilih sendiri. Tokoh agama yang menguasai kitab salaf, terutama Fathul Mu‘in, kitab fiqih rujukan utama di pesantren. KH Fauzan ingin memastikan, birokrasi agama bukan sekadar administrasi, tapi lanjutan dari dakwah.
Dalam rapat-rapat KUA yang diiringi turba NU Jepara, KH. Fauzan kerap menekankan pentingnya tafaqquh fiddin bagi aparatur negara. “Jabatan tanpa ilmu, ibarat masjid tanpa mihrab,” begitu kiranya. KH Fauzan menghendaki agar pejabat agama tak hanya pandai menandatangani surat nikah, tapi juga mampu menjawab problem keumatan dengan ilmu dan akhlak. Dari sinilah muncul generasi Syuriyah MWCNU yang juga pegawai KUA, pola kaderisasi khas KH Fauzan yang menyatukan negara dan pesantren dalam satu sistem nilai. Sebutlah Kyai Nursyid Keling yang menurunkan KH Ubaidillah, Kyai Asmawi Pecangaan yang menurunkan KH Mahfudz Asmawi, dan Kyai Mahmudi yang menurunkan mantan Gubernur Jateng KH Ali Mufidz.
Gaya kepemimpinan itu merefleksikan teori Imam Al-Mawardi tentang Ahlul Halli wal Aqdi, bahwa ulama adalah penopang moral bagi umara, dan umara menjadi pelindung sosial bagi ulama. Dalam diri KH. Fauzan, dua peran itu menyatu. Beliau tidak sekadar mendakwahkan Islam di mimbar, tetapi juga menegakkannya di ruang birokrasi.
Di luar ruang kerja, KH Fauzan yang merupakan penghafal Qur’an, kembali ke dunia yang ia cintai, dunia syair. Menulis nadzam-nadzam tentang zuhud, sabar, dan adab murid kepada guru. Syi‘ir itu bukan sekadar hiburan, melainkan alat internalisasi nilai. Melalui bait-baitnya, Mbah Zan mengajarkan bagaimana ilmu harus disertai tawadhu, bagaimana dakwah harus hadir dengan kasih.
Karya-karyanya menyebar hingga ke pesantren-pesantren di Pantura. Meski tidak mewariskan pesantren secara langsung dalam fisik bangunan, namun kekerabatan keluarga memberikan hubungan keterpengaruhan. Pesantren Darunnajah di Kedungleper Bangsri misalnya, didirikan oleh KH Muh Ridlwan yang masih sebagai kakak bagi KH Fauzan dalam pertemuan jalur nasab pada Kyai Ahmad Sanwasi di Penggung. Pesantren Sabilul Hadi di Surodadi Kedung yang didirikan KH Yusuf bin Ahmad Sanwasi, merupakan paman kecil dari KH Fauzan, yang kemudian mewariskan generasi semasa seperti KH Mahfudz dan menantunya KH Asro. KH Fauzan juga terhubung kedekatan keluarga ke Pesantren Heru Cokro Sinanggul Mlonggo melalui adik sepupu bernama Robi’atul Adawiyah atau Nyai Rubai’ah yang menikah dengan KH. Nawawi, pendiri pesantren Heru Cokro. Begitu juga kedekatan dengan Pesantren Darussalam di Saripan, yang diasuh oleh KH Abdur Rosyid kala itu merupakan sahabat karib sekaligus kakak ipar dari menikahi Nyai Mukarromah binti Muhammad Zain.
Dari pernikahannya, KH. Fauzan dikaruniai 13 anak, yang kini keturunannya tersebar baik di Indonesia, Kanada, Amerika, dan Australia. Mereka melanjutkan jejak sang ayah dan kakek sebagai pendidik, peneliti, aktivis sosial, dan penggerak dakwah Islam moderat. Diaspora santri intelektual inilah yang menjadi warisan paling hidup KH. Ahmad Fauzan, bukan sekadar darah, tapi gagasan.
Bagi keluarga dan santrinya, KH. Fauzan bukan hanya guru agama, tapi arsitek peradaban kecil. Ia merajut keislaman yang lentur namun berprinsip, menyatukan tradisi lokal dengan semangat kosmopolit Ba‘alawi. Dalam syairnya, tauhid berpadu dengan budaya. Dalam birokrasinya, agama berjalan seiring dengan negara. Dalam hidupnya, Islam tidak sekadar keyakinan, tetapi juga sistem nilai yang mengatur perilaku, ilmu, dan keindahan.
Kini, setiap kali haul beliau digelar di pemakaman Suromoyo, Bangsri, bait-bait nadzam lama kembali dilantunkan di sejumlah pesantren para cucu. Para santri muda membacakannya dengan nada lembut, seperti doa yang menembus zaman. Dalam setiap kata dan irama, terasa kehadiran KH. Ahmad Fauzan. Ulama perintis NU dengan keterikatan klan Ba‘alawi dari Jepara, yang membuktikan bahwa Islam bisa sangat pribumi tanpa kehilangan universalitasnya, bisa sangat lokal tapi tetap kosmopolit, bisa sangat lembut tapi menumbangkan pengaruh penjajah dengan kalimat yang berima.
Huwa Malikul Mulki Alladzi Qod Tarol Alamu
Huwal Muqsithul Jami’u dzul Jalali wal Ikrom
Ratu ing dunyo kabeh mesti bakal dilandrat
Bejo temen kang adil sopo salah temporat
(Syair asmaul husna, KH Ahmad Fauzan)
Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Perdamaian UIN Jakarta; LTN NU MWCNU Nalumsari Jepara












