HALO JEPARA- Kisah Kiai Ahmad Fauzan dituduh provokator penjarahan toko juragan Tionghoa di Pasar Bangsri Jepara.
Kiai Ahmad Fauzan sebagai pemimpin agama di daerah Bangsri menjadi tokoh yang dicari ketika pemerintah militer Jepang menduduki Jepara.
Pendudukan pemerintah militer Jepang di Indonesia selama kurang lebih 3,5 tahun membawa dampak yang luar biasa bagi rakyat.
Pada 1942 bersamaan dengan awal kedatangan tentara Jepang di Jepara terjadi ketidakstabilan keadaan. kekosongan kekuasaan akibat dari transisi penguasa mengakibatkan aksi penjarahan (krayahan) terjadi di beberapa pusat keramaian di wilayah Jepara. Salah satu yang menjadi lokasi krayahan adalah pasar.
Di Bangsri, penjarahan oleh massa berawal dari kantor Pegadaian milik pemerintah. Massa yang tidak puas kemudian bergerak menuju ke komplek Pasar Bangsri yang terdapat banyak toko milik warga Tionghoa. Massa menjarah barang-barang yang ada dengan serampangan.
Kondisi pada waktu itu dapat digambarkan seakan-akan tidak ada tata aturan hukum yang berlaku dan ditaati. Tidak diketahui jumlah kerugian yang dialami oleh para pedagang di Pasar Bangsri pada waktu itu.
Setelah peristiwa itu berakhir, banyak orang Tionghoa yang trauma dan meninggalkan toko yang mereka sewa dari penduduk setempat. Rata-rata mereka kembali ke kediamannya, tempat kerabat atau saudara di kota-kota besar seperti Semarang, Surabaya dan Jakarta.
Komunitas Tionghoa yang berdagang di Pasar Bangsri sebagian besar adalah menyewa ke penduduk setempat. Ada juga sebagian dari mereka yang membeli tanah dan dijadikan sebagai tempat tinggal.
Merespon aksi yang terjadi, pemerintah militer Jepang melalui kepala desa (kocho) melakukan upaya penertiban keadaan dengan mencari orang-orang yang melakukan penjarahan.
Perangkat desa, terutama Petengan digerakkan untuk memantau desa guna menertibkan keadaan. Salah satu dampaknya orang-orang yang melakukan penjarahan meninggalkan barang-barang yang mereka ambil. Bahkan ada yang sengaja membuang untuk menghilangkan bukti.
Kiai Ahmad Fauzan sebagai pimpinan agama muda di daerah Bangsri menjadi tokoh yang dicari ketika pemerintah militer Jepang menduduki Jepara. Fauzan dituduh sebagai provokator terjadinya kerusuhan massa (krayahan) yang terjadi di Bangsri. Terlebih, Kiai Ahmad Fauzan dan istrinya, Nyai Mukminah memang tinggal di komplek Pasar Bangsri.
Tokoh pendiri NU (Nahdlatul Ulama) di Jepara ini lalu ditangkap oleh polisi militer Jepang (kenpitai) dan dimasukkan selama beberapa hari ke dalam penjara Bangsri (sekarang adalah Mapolsek Bangsri).
Namun tuduhan tersebut tidak terbukti hingga akhirnya Kiai Ahmad Fauzan dibebaskan dari bui.
Fakta di lapangan memang berbeda dengan tuduhan dari pemerintah militer Jepang. Sebagai pimpinan umat pada waktu itu, Kiai Ahmad Fauzan justru melarang orang-orang untuk menjarah barang-barang yang ada di pertokoan Pasar Bangsri. Ia memberikan seruan agar orang-orang tidak mencuri dan mengembalikan barang yang sudah diambil agar tidak dihukum oleh pemerintah.
Seruan tersebut memang tidak sepenuhnya dipedulikan, karena massa yang sudah bergerak tidak dapat dikendalikan. Hingga akhirnya terjadi penjarahan besar-besaran.
Kerusuhan berupa aksi penjarahan yang terjadi di beberapa pusat keramaian memang menjadi salah satu peristiwa di awal kedatangan Jepang.
Di pusat pemerintahan Jepara, patung-patung dan taman yang menunjukkan kemegahan pemerintah Hindia Belanda dihancurkan oleh Jepang. Satu di antaranya adalah patung Ratu Wilhelmina dan patung-patung angsa di komplek Taman Sari yang ada di jantung Kota Jepara.
Tampaknya pemerintah yang baru tidak ingin melihat sisa-sisa kekuatan dari pemerintah yang lama (Hindia Belanda) di Jepara.
Sehari setelah penyerahan pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang, pemerintah militer Jepang melarang semua kegiatan organisasi dan rapat-rapat. Pada 20 November 1942 semua kegiatan politik, termasuk rapat-rapat untuk membicarakan organisasi dan struktur pemerintah dilarang oleh Jepang.
Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, peran strategis yang dimiliki oleh ulama dan umat Islam justru dilirik Jepang. Mereka berharap mendapat bantuan karena ada kepentingan pemerintah militer Jepang dalam perang Asia Timur Raya.
Pemerintah militer Jepang akhirnya memilih sikap melunak terhadap umat Islam. Hal ini terlihat dari disahkannya pendirian Muhammadiyah pada 10 September 1943, Nahdlatul Ulama (NU) pada Februari 1944. Selain itu juga untuk Persatuan Umat Islam (PUI) di Sukabumi pada tahun yang sama. Politik Islam yang dimainkan oleh pemerintah militer Jepang terlihat dengan kegiatan indoktrinasi kepada para ulama pedesaan pada 1943.
Tujuannya adalah memobilisasi para ulama yang menjadi panutan rakyat untuk mendukung kepentingan Jepang. Meskipun pemerintah militer Jepang juga membuat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi para ulama tersebut. Jepang membalut upaya “sinergi” itu dengan membuat kegiatan indoktrinasi yang diikuti para ulama.
Sejumlah pesyaratan yang harus terpenuhi para ulama, yaitu memiliki nama baik, sehat dan giat dalam kegiatan sehari-hari; dapat berbicara dan menulis bahasa Melayu; dan dapat mengikuti kursus selama satu bulan. Namun Kiai Ahmad Fauzan rupanya tidak pernah mengikuti kegiatan indoktrinasi yang diselenggarakan oleh pemerintah militer Jepang tersebut.
Di samping politik Islam yang dimainkan dengan cukup ketat, pemerintah militer Jepang juga melakukan upaya stabilitasisasi dan ekspolitasi atas rakyat jajahan. Hal tersebut mengakibatkan kondisi rakyat semakin menderita. Kebijakan Jepang yang memberatkan begitu dirasakan rakyat.
Kebijakan serah wajib padi menjadikan masyarakat Jepara terpaksa harus menyerahkan sebagian hasil panennya dengan jumlah tertentu kepada pemerintah militer Jepang melalui desa. Akibat kebijakan itu, tidak jarang rakyat memilih menyembunyikan padi hasil panennya di bawah tanah atau di atas rumah.
Begitu pula dengan kebijakan kerja wajib atau yang dikenal dengan romusha. Kerja wajib tersebut diberlakukan secara bersama-sama terutama bagi para pemuda yang memiliki produktivitas tinggi.
Kebijakan tersebut mengakibatkan beban tersendiri bagi rakyat. Di tengah kualitas hidup yang rendah, ditandai dengan terbatasnya bahan makanan dan buruknya kualitas kesehatan, pemerintah militer Jepang menuntut kerja-kerja wajib dan penyerahan yang yang sifatnya wajib.
Merespon aksi Jepang ini, perjuangan yang dilakukan Kiai Ahmad Fauzan muda lebih bersifat moral. Kiai Ahmad Fauzan mendorong masyarakat agar lebih sabar dalam menghadapi situasi penjajahan Jepang. Hal ini berbeda dengan masa setelahnya dengan posisi sebagai bagian dari pemerintah. (*)
*Tulisan ini disadur dari buku KH Ahmad Fauzan, Biografi, Pemikiran dan Peranannya di Jepara (Penulis M Dalhar)