HALO JEPARA- Gawe Pilkada Jepara 2024 sudah rampung. Pemenang hajatan demokrasi lima tahunan itu adalah Witiarso Utomo – M Ibnu Hajar. Pasangan calon yang dimotori Partai Gerindra, PPP, PDIP dan sejumlah parpol lain ini berhasil meraih suara terbanyak dibanding rivalnya KH Nuruddin Amin – M Iqbal yang diusung PKB dan Partai Nasdem.
Pelantikan Mas Wiwit-Gus Hajar dijadwalkan akan digelar pada 10 Februari 2025 atau sekitar dua bulan mendatang.
Mas Wiwit-Gus Hajar akan meneruskan kepemimpinan di Jepara yang sudah eksis sejak 10 April 1549 atau saat penobatan Ratu Kalinyamat sebagai penguasa Jepara.
Jika dihitung tahun pertama Mas Wiwit-Gus Hajar menjabat maka usia Jepara menginjak 476 tahun.
Selama ratusan tahun, Jepara dipimpin oleh para pemimpin dengan gaya kepemimpinan hingga tantangan yang bebeda-beda. Beberapa yang hingga kini lekat dengan ingatan warga Jepara seperti Ratu Kalinyamat, Raden Mas Adipati Ario (RMAA) Sosroningrat yang merupakan ayah RA Kartini, Lalu RMAA Koesoemo Oetoyo.
Koesoemo Oetoyo menjadi Bupati Jepara menggantikan RMAA Sosroningrat. Koesoemo Oetoyo mulai menjabat sebagai Bupati Jepara pada 1905 hingga 1925.
Ia sebelumnya menjabat Bupati Ngawi (Jawa Timur), namun baru 3,5 tahun menjabat diberi tugas oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menjabat Bupati Jepara yang kosong seiring meninggalnya RMAA Sosroningrat.
Kepemimpinan Koesoemo Oetoyo diuji berbagai tantangan. Hingga akhirnya pada 1925 atau saat masa jabatannya menginjak 20 tahun, ia memilih mengundurkan diri. Saat itu, usianya 54 tahun. Ia memilih mengajukan pensiun dini, ketika kepongahan pemerintah kolonial dirasakan benar-benar mengoyak harga dirinya.
Diawali saat seorang wedana yang merupakan bawahannya melaporkan ke pemerintah Hindia Belanda yang isinya Bupati Koesoemo Oetoyo tidak melakukan tekanan terhadap kelompok pergerakan warga pribumi yang berkembang subur di Jepara.
Hingga akhirnya Koesoemo Oetoyo disidang dan diadil di hadapan mahkamah yang diisi pejabat kolonial. Yang menyakitkan dalam persidangan itu Koesoemo Oetoyo harus duduk bersimpuh di lantai rumah sendiri menghadapi asisten residen yang bertindak selaku penyidik.

Dituding Berpihak pada Sarekat Islam
Boedi Oetomo yang lahir pada 1908 merupakan tonggak kebangkitan nasional karena menjadi organisasi modern pertama di Indonesia dan pelopor berdirinya organisasi-organisasi lainnya.
Pada 1911 lahir Sarekat Islam di Solo. Sarekat Islam dikendalikan oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto dari Surabaya. Sejarah mencatat organisasi ini bisa berkembamg dengan cepat. Tak hanya di Jawa tapi juga ke Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Di Jepara, Sarekat Islam berdiri pada 1914. Organisasi ini sering menggelar openbaar vergadering atau rapat umum di lapangan atau halaman masjid yang luas. Hal itu akhirnya menjadi daya tarik bagi warga lainnya. Demikian dikutip dari Buku Perjalanan Panjang Anak Bumi, Biografi RMAA Koesoemo Oetoyo.
Terlebih rapat umum ini kerap dihadiri kalangan kyai, pejabat, pamong resmi, dan ribuan warga. Kritik, ketidakadilan, tingginya pajak dan njumplangnya kesempatan belajar kerap disyarakan saat rapat umum itu. Hal ini membuat pemerintah kolonial dan kaki tangannya gusar dan takut. Mereka menganggap pidato saat rapat umum Sarekat Islam sebagai upaya menghasut rakyat.
Pemerintah Hindia Belanda tak diam melihat fenomena ini. Untuk membatasi gerak Sarekat islam, dan juga agar organisasi ini tetap bersifat lokal maka pemerintah melarang berdirinya kepengurusan di tingkat pusat atau nasional.
Tiap Sarekat Islam yang didirikan di daerah-daerah harus mendapat izin dari gubernur jenderal di Batavia. Meski begitu, upaya itu tetap tak mampu membendung Sarekat Islam yang terus berkembang dengan cepat.
Rupanya, meski berlabel Sarekat Islam namun anggota organisasi ini lintas profesi. Mulai dari pedagang, wirausaha, ambteenar (pegawai) rendah, ambteenar tinggi , petani, pegawai pengulon, guru dan lannya.
Saking pesatnya perkembangan Sarekat Islam pemerintah Hindia Belanda ketar-ketir. Bahkan ada plesetan Sarekat Islam menjadi Salahnya Idenburg (SI), gubernur jenderal yang mengakui organisasi ini saat awal berdirinya.
Popularitas Sarekat Islam terus menanjak hingga pengikut dan simpatisannya tak hanya di Jawa namun juga luar Jawa. Pada 1916, Sarekat Islam bahkan menggelar kongres nasional yang pertama di Bandung.
Meskipun beberapa tahun setelah itu, organisasi ini mengalami keretakan setelah masuknya sosok-sosok dengan faham ideologi komunis. Hingga muncul SI Putih dan SI Merah. Pada 1922, dua kelompok di Sarekat Islam benar-benar memisahkan diri. Kelompok SI Merah mengganti nama menjadi Sarekat Rakyat.
Sarekat Islam maupun Sarekat Rakyat sama-sama eksis di Jepara. Berbagai aktivitas mereka memicu gejolak sosial dan juga sekaligus memacu kesadaran politik masyarakat.
Gejolak sosial itu juga akhirnya kian memanas. Hingga akhirnya terbit sebuah laporan laporan rahasia yang ditulis oleh Residen Semarang, J Van Gigh ditujukan kepada Gubernur Jenderal di Buitenzirg, No 648/p.z tertanggal 25 Juli 1924.
Laporan rahasia itu menggambarkan secara rinci perkembangan politik di Jepara, ketika rakyat bergerak dan bagaimana RMAA Koesoemo Oetoyo selaku bupati memposisikan dirinya,
Laporan dari Residen Semarang ini rupanya tidak berhenti di laci. Walaupun Residen Semarang tidak punya bukti tentang keberpihakan Koesoemo Oetoyo kepada pergerakan rakyat namun kenyataannya laporan itu ditanggapi serius gubernemen.
Indikasnya, beberapa bulan kemudian tepatnya tahun 1925, Bupati Jepara Koesoemo Oetoyo itu diseret ke mahkamah.
Majelis itu dipimpin Residen Semarang J Van Gigh diiringi Asisten Residen, prosedutor, griffer dan pejabat Hndia Belanda lainnya . Majelis ini mengadili Koesoemo Oetoyo.
Tuduhannya Bupati Jepara berpihak pada kauim pergerakan yang dimotori Sarekat Islam dan organisasi lainnya. Ia dipersalahkah karena selaku ambteenar tertinggi tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap pergerakan itu.
Namun karena memang tidak punya bukti akhirnya majelis memutuskan Koesoemo Oetoyo dibebaskan dari segala tuduhan. Ia dinyatakan tidak bersalah dan diperbolehkan kembali menjabat Bupati Jepara.
Pengadilan itu rupanya membekas di hati dan fikiran Koesoemo Oetoyo. Ia lalu berbincang dengan istrinya RA Ataswarin.
“Jeng aku sudah terlalu banyak mengalami penghinaan. Selama ini aku anggap semua itu sebagai tantangan, tetapi pengadilan yang tadi sungguh aku rasakan sebagai sebuah penghinaan luar biasa yang tidak pernah dapat aku maafkan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawan mereka. Aku sudah capek, aku sudah kenyang dan aku tidak mau bekerja lebih lama lagi.” tandasnya.
Beberapa hari kemudian, Koesoemo Oetoyo menulis surat kepada gubernemen, ia memilih mundur sebagai Bupati Jepara. Ia mengajukan permohonan pensiun. Walaupun sebenarnya ia masih beberapa tahun lagi menjabat Bupati Jepara.
Pemohonan itu dikabulkan, dan akhirnya Koesoemo Oetoyo meninggalkan Pendopo Jepara yang sudah lebih dari 20 tahun diakrabinya. Ia lalu pindah ke Semarang.
Keluarga Koesoemo Oetoyo yakin jika laporan itu dibuat oleh salah seorang anak buahnya yakni Wedana Jepara. Wedana itu disinyalir ingin mendapat penilaian baik dari atasannya dan pada gilirannya memperoleh kesempatan menggantikan kedudukan Bupati Jepara.
Ambisi sang wedana memang kesampaian. Setelah Koesoemo Oetoyo mundur dari jabatan Bupati Jepara, posisinya digantikan oleh salah seorang wedana yang diyakini merupakan pelapor hingga akhirnya Koesoemo Oetoyo diadili.
Namun sejarah mencatat, kelak putra sulung Koesoemo Oetoyo yakni RM Soemitro mendapat kesempatan menjabat Bupati Jepara, posisi yang pernah diisi oleh ayahnya. Soemitro Oetoyo menjabat Bupati Jepara pada awal kemerdekaan Indonesia yakni tahun 1945 – 1950.
Muhammad Olies, peminat sejarah Jepara
Sumber :
*Buku Perjalanan Panjang Anak Bumi, Biografi RMAA Koesoemo Oetoyo (atas prakarsa Ramadhan KH).
*Wawancara dengan RA Atashendartini Kusumo Utoyo (keturunan RMAA Koesoemo Oetoyo)