Opini  

Loopholes, Imbauan Sekda Edy dan Kerawanan Netralitas ASN di Pilkada Jepara 2024

ILUSTRASI pentingnya netralitas ASN saat gawe Pilkada Jepara 2024.
ILUSTRASI pentingnya netralitas ASN saat gawe Pilkada Jepara 2024.

Analis: Dr. Muh Khamdan*

HALO JEPARA- Salah satu bahaya besar yang mengancam perjalanan pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah perilaku curang dengan pengerahan ASN, baik unsur PNS maupun PPPK.

Potensi kecurangan bisa saja terjadi karena ketidaktahuan akibat sejumlah peraturan memberikan loopholes, pun kecurangan terjadi karena memanfaatkan kesempatan dari sebuah kewenangan. Keduanya tentu sangat berpotensi untuk dilakukan oleh pemegang kekuasaan, yaitu aparat negara.

Loopholes adalah celah hukum yang ada dalam sebuah peraturan karena belum mampu mengantisipasi tindakan penghindaran dari aturan. Dalam konteks ini, publik dapat melihat dari sejumlah pemberitaan seperti imbauan Sekretaris Daerah Jepara, Edy Sujatmiko yang memperbolehkan ASN menghadiri kampanye kendati dengan syarat dalam posisi pasif.

Pernyataan yang disampaikan dalam apel Senin pagi itu (9/9), jelas sangat rumit menjelaskan makna pasif dalam kehadiran kampanye jika tidak terkait dengan tugas kepemiluan.

Peraturan yang membolehkan ASN hadir dalam kampanye setidaknya diatur dalam Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor 18 Tahun 2023. Peraturan yang diterbitkan pada 23 Agustus 2023 itu, sesungguhnya mengatur bagi ASN yang memiliki pasangan suami atau istri berstatus sebagai calon kepala daerah, calon legislatif, dan calon presiden dan wakilnya.

LIHAT JUGA :  PAN, Gerindra dan Demokrat Rekom Wiwit - Hajar Maju Pilkada Jepara 2024 

Kehadiran ASN dalam kegiatan politik diatur secara jelas posisinya sebagai pendamping. Posisi tersebut dimaksudkan sebagaimana mendampingi suami atau istri pada masa pengenalan kepada masyarakat, sehingga dilarang berpose simbol atau gerakan keberpihakan, dilarang menggunakan atribut politik atau peraga kampanye, dilarang sosialisasi atau menjadi narasumber di forum politik, sekaligus dilarang membuat kegiatan yang menunjukkan adanya unsur- keberpihakan.

Manakala salah satu praktik larangan itu tetap terjadi maka hukuman disiplin patut untuk diberikan.

Penyimpangan kekuasaan memang sangat rentan dalam peristiwa kontestasi politik, terlebih pada lingkup lokal dan daerah. Political corruption sebagai bentuk penggunaan kekuasaan dan pengaruh jabatan, selalu berkaitan dengan upaya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan keuntungan politik.

Kita tentu tidak bisa puas dengan satu hal yang pasti dalam pilpres dan pemilihan legislatif 2024, yaitu MAHAL! Bahkan bisa jadi menjadi perhelatan pemilu termahal di dunia, baik dari sisi penyelenggaraannya maupun anggaran yang dikeluarkan para kontestan.

LIHAT JUGA :  Waspada, Narkoba Menyusup ke Mahasiswa Kampus di Jepara

Keruwetan awal tentu mudah dijumpai sejak meraih tiket pencalonan. Tiket ini hanya dipegang oleh partai politik, sedangkan pihak yang ingin melaju lewat jalur independen sudah pasti akan bertaruh modal lebih besar lagi.

Setidaknya ada tiga pintu masuk penyimpangan kekuasaan yang rentan dilakukan oleh ASN maupun barisan birokrasi lain seperti PPPK.

Pertama, aparat negara dapat memanfaatkan program-program dan anggaran pemerintah untuk mengglorifikasi citra kandidat tertentu. Glorifikasi itu bisa saja “dompleng” dengan program populis sehingga masyarakat mengkonstruksi persepsi  kandidat pro-rakyat sekaligus ajang membeli suara.

Kedua, memanfaatkan relasi pejabat di atas dan pejabat di bawahnya. Kondisi inilah yang seringkali memengaruhi ketergantungan antara kepala dinas dengan satuan kerja (satker), camat dengan lurah sampai tingkatan RT/RW, dan jejaring atasan pada bawahan lainnya.

Relasi demikian yang umumnya diperparah keberpihakan aparat dalam level tertentu pada salah satu kandidat yang diketahui berasal dari kekuatan politik dominan atau kekuatan mayoritas. Pada kondisi ini juga masyarakat sering mengaitkan dengan keberbahayaan inkumben atau mantan pejabat turut berlaga.

LIHAT JUGA :  Pemkab Tawari PT Sumitomo Garap Tol Jepara-Demak Senilai Rp 13 Triliun

Ketiga, penyimpangan terbuka karena tidak tegasnya pengaturan soal kampanye. Definisi kampanye sekaligus kriteria pelanggaran pemilu misalnya, seringkali tindakannya senyap seusai pemungutan suara. Praktik bagi-bagi uang maupun sembako atau hadiah lain untuk “membeli suara” pada akhirnya dianggap suatu kewajaran. Akibatnya, pengawas pemilu pun menjadi abai atau kurang mempedulikan potensi kerawanan pemilu.

Efek samping dari tiga potensi penyimpangan ketidaknetralan aparatur adalah kian meningkatnya persaingan dan segregasi sosial.

Kita berharap, demokrasi tidak lagi lapar atau kelaparan karena tergoda “ijon politik”, sehingga tidak terjadi dukung mendukung oleh individu, asosiasi atau perkumpulan profesi, bahkan struktural jabatan dalam pilkada yang dimainkan para aparat negara.

Sebutlah misal perhimpunan perawat di Jepara yang berdasar pemberitaan salah satu portal menyatakan mendukung salah satu pasangan kandidat Witiarso Utomo – M Ibnu Hajar, padahal mereka menyandang status PNS. Gak bahaya tah?

*Pembina Paradigma Institute