Opini  

Melawan Hantu Politik Uang dan Ikhtiar Menjaga Kewarasan Nalar Pemilih Jelang Coblosan Pilkada Serentak 2024

ILUSTRASI tolak politik uang (sumber @achenguyee_)
ILUSTRASI tolak politik uang (sumber @achenguyee_)

Oleh : Dr. M Kholidul Adib, SHI, MSI*

HALO JEPARA- Pemilihan kepala daerah yang diadakan serentak pada tahun 2024 merupakan mekanisme resmi suksesi kekuasaan di tingkat lokal bagi negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi dengan menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat. Pada 27 Nopember 2024 akan diadakan pemilukada serentak di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam kajian ilmu politik, demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat yang diwujudkan dalam bentuk pemilihan umum. Pemilihan dinilai demokratis jika memenuhi sejumlah persyaratan sebagai berikut:

(1) Diselenggarakan oleh lembaga atau komisi pemilu yang independen, mandiri dan bebas intervensi/pengaruh dari pihak manapun;

(2) Dilaksanakan secara Luber dan Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil);

(3) Diawasi oleh lembaga pengawas pemilu yang independen dan mandiri;

(4) Semua elemen masyarakat berhak dan memiliki kesempatan untuk terlibat sebagai peserta pemilu (calon/kandidat), pemilih maupun pemantau;

(5) Menjaga dan melindungi kesamaan hak pemilih untuk  dapat menggunakan hak pilihnya dengan melaksanakan prinsip one man, one vote dan one value.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dari tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kelurahan hingga tingkat TPS dituntut professional, adil dan netral alias tidak memihak salah satu kontestan pilkada. Bawaslu dan aparatnya harus tegas apabila ada pelanggaran pilkada dalam bentuk apapun.

KPU sudah selesai menyelenggarakan debat publik untuk para paslon paslon. KPU juga sudah menggandeng berbagai pihak untuk mengadakan sosialisasi dan pendidikan pemilih dengan harapan masyarakat akan semakin banyak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan 2024.

Strategi Pemenangan Paslon

Jika kita memperhatikan langkah-langkah pemenangan masing-masing pasangan calon hampir ada kemiripan. Pertama, para kandidat mempersiapkan visi, misi dan program kerja yang akan mereka sampaikan kepada masyarakat sebagai bentuk komitmen mereka untuk memimpin selama 5 tahun ke depan. Kedua, para kandidat mengadakan sosialisasi kepada masyarakat baik dengan memasang baliho di banyak tempat maupun menghadiri langsung berbagai kegiatan pertemuan dengan masyarakat.

Dalam pertemuan ini para calon akan mengajak masyarakat diskusi mengenai apa-apa saja yang akan dikerjakan untuk pembangunan ke depan. Kemudian masyarakat juga berhak memberikan komentar, kritik, saran, setuju atau tidak setuju dengan visi, misi dan program para calon.

Ketiga, para kandidat sudah memanaskan mesin politiknya masing-masing dengan mengadakan konsolidasi dan penguatan tim pemenangan resmi. Tim ini biasanya melibatkan gabungan dari unsur partai, tokoh masyarakat, tokoh ormas dan berbagai elemen masyarakat.

Tim juga dibentuk hingga tingkat kecamatan dan desa. Bahkan sudah ada yang memulai melakukan pendataan pemilih agar nantinya benar-benar memilih kandidat yang diinginkan oleh tim pemenangan.

Keempat, di luar tim pemenangan resmi, pasangan calon juga sudah mulai membuat tim relawan di berbagai komunitas dengan melibatkan para tokoh masyarakat, tokoh ormas, tokoh agama dan tokoh pemuda bahkan alumni sekolah atau pesantren.

Tim relawan yang dibentuk juga sudah mulai rajin melakukan pertemuan di komunitasnya masing-masing. Keberadaan tim relawan ini akan memperkuat kerja tim pemenangan resmi. Dalam sejumlah kasus kadang tim relawan kerjanya lebih maksimal ketimbang tim pemenangan resmi.

Kelima, untuk memenangkan pilkada tentu membutuhkan biaya yang sangat besar, baik untuk membiayai mesin partai, bahan-bahan sosialisasi, konsumsi dan transportasi tim sukses, hingga mempersiapkan dana untuk memberikan “sedekah politik” kepada masyarakat pemilih. Pemberian ini biasanya terjadi pada hari tenang atau hari H pencoblosan. Istilah “sedekah” ini sering disampaikan oleh para tim sukses.

Hantu Money Politics

Kecenderungan politik neo-liberal di era reformasi kalau pemilu berbiaya mahal. Seorang calon kepala daerah kalau hendak menang tidak cukup hanya modal visi misi dan kekuatan partai saja, tetapi juga harus menyiapkan uang besar untuk kepentingan biaya kampanye, sosialisasi hingga money politics.

Untuk pilkada kabupaten/kota, pada tahun 2020, jika ada 1 juta pemilih di suatu kabupaten/kota, dengan asumsi yang menggunakan hak suaranya ada 1 juta pemilih yang menggunakan hak suaranya di TPS, maka Paslon harus menggelontorkan 800,000 amplop berisi 50,000 (total 40 miliar). Agar efektif amplop akan disebar menyasar ke para pemilih yang masuk kategori menengah ke bawah.

LIHAT JUGA :  Kisah Bupati Jepara Mundur dari Jabatannya, Dituding Berpihak Kelompok Islam

Itu baru hari H saja. Jika ditambah dengan biaya kampanye, sosialisasi dan operasional selama kampanya yang minimal bisa nembus 10 miliar maka total paslon harus menyiapkan uang 50 miliar. Itu angka minimal yang harus disiapkan paslon.

Sehingga untuk pilkada 2024 bisa saja biaya pemenangan paslon bisa menembus angka 70 hingga 100 miliar.Biaya politik kita sudah sangat mahal. Tidak hanya untuk pilkada tetapi juga untuk pileg dan pilpres.

Hasil penelitian saya saat pemilu legislatif tahun 2024, rata-rata caleg RI yang jadi habis antara Rp 10 miliar – RP 30 miliar. Caleg jadi provinsi antara RP 3 miliar – Rp 10 miliar. Caleg jadi kabupaten/kota antara RP 1 miliar – Rp 3 miliar.

Ada memang caleg jadi yang habis uang di bawah rata-rata angka tersebut tapi jumlahnya sangat kecil. Hal ini juga terjadi pilpres atau pilkada. Untuk jadi presiden butuh biaya Rp 2 triliuan – Rp 10 triliun. Untuk jadi gubernur butuh kisaran Rp 300 miliar – Rp 500 miliar.

Uang sebanyak itu tentu semuanya bukan uang pribadi calon, bisa saja uang sumbangan dari pengusaha, bahkan ada yang dari botoh (penjudi politik). Sedangkan gaji mereka setelah terpilih tidak bisa menutup biaya politik yang sudah dikeluarkan apalagi ditambah ada iuran partai, biaya aspirasi konstituen dan biaya-biaya gaya hidup.

Biaya yang mahal dalam politik kita disebabkan oleh lemahnya aturan, masyarakat yang masih belum sejahtera hingga elit politik yang maunya menang pemilu dengan cara instan (tidak mau kerja keras tapi maunya menang maka dipakailah cara-cara instan dengan money politics).

Ibarat hantu, kasus money politics jarang yang terungkap. Ada banyak faktor penyebab salah satunya  karena aturan terkait itu masih lemah. Kelemahan itu bisa dilihat dalam UU Nomor 7 tahun 2017 pasal 286 yang berbunyi, “(1) Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, pelaksana kampanye, dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi PenyeIenggara Pemilu dan/atau Pemilih”.

Dari norma pasal 286 tersebut, aturan money politics hanya memberikan hukuman kepada kandidat atau tim kampanye resmi yang terdaftar sebagai pemberi barang atau uang (money politics) yang bisa ditindak, sedangkan apabila yang memberikan orang lain yang bukan kandidat dan tim kampanye yang terdaftar di KPU maka pemberi dan penerima money politics tidak dianggap sebagai money politics yang dapat ditindak.

Dengan menghabiskan dana besar tentu ketika sang kandidat terpilih maka pertama kali yang akan dilakukan adalah mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan sehingga akan melakukan berbagai macam cara dan langkah pintas yang bisa dengan cepat dapat mengembalikan modal politik sekaligus mempersiapkan untuk biaya politik pemilu berikutnya.

Sayangnya biasanya dengan menjadikan APBN / APBD untuk sapi perahan. Inilah yang harus diwaspadai oleh masyarakat bahwa politik uang akan menyuburkan korupsi di Indonesia.

Bahaya Politik Uang

Praktik money politics seperti pembelian suara, mahar politik hingga penyalahgunaan dana kampanye, telah menjadi masalah yang meresahkan. Hal ini bisa saja menimbulkan sebuah hipotesis bahwa hasil pemilihan seringkali dipengaruhi oleh uang daripada pemilih yang benar-benar memahami visi dan misi calon kandidat.

Pengalaman dari pemilu yang dilaksanakan di Indonesia, modus money politics dibagi dalam kategori langsung dan tidak langsung. Misalnya, (a) membagi-bagikan uang secara langsung, (b) instruksi memasangkan bendera dengan imbalan uang, (c) pembagian sembako, (d) memberi uang kepada massa kampanye, (e) membagikan uang melalui temu kader, (f) janji-janji memberikan sesuatu, (g) memberikan bantuan dana pembangunan rumah ibadah, dan berbagai modus lainnya.

Sebenarnya money politics dalam penyelenggaraan pemilu memiliki cakupan yang lebih luas. Tidak hanya dilihat dari hubungan antara partai politik atau kandidat dengan pemilih, akan tetapi juga harus dilihat di dalam bentuk-bentuk interaksi antara partai politik atau kandidat, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), dan pemilih.

LIHAT JUGA :  SALJU Menutupi Padang Pasir Arab Saudi, Padahal Dulu Padang Pasir Gersang, Tanda Kiamat?

Kemudian, juga tidak terjadi pada tahapan kampanye dan pemungutan suara saja, akan tetapi juga dapat terjadi pada tahapan lainnya.Kondisi masyarakat yang menganggap lumrah money politics hampir merata terjadi di Indonesia.

Selama pemilu/pilkada digelar di era reformasi, pemenangnya rata-rata adalah kontestan yang didukung dana besar yang mampu membagi uang kepada pemilih. Sangat sedikit atau jarang ditemukan kandidat bisa menang tanpa dana.

Money politics telah menjadi perbincangan sebagai masalah krusial dalam setiap pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada), menggugah keprihatinan mendalam atas masa depan demokrasi dan memunculkan ketidakpastian atas integritas sistem politik kita.

Meskipun menghilangkan sepenuhnya praktik ini adalah tugas yang sangat sulit, namun langkah-langkah penanggulangan politik uang harus menjadi prioritas utama dalam persiapan pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2024.

Praktik money politics berpeluang merusak integritas demokrasi dan menciptakan ketidaksetaraan dalam proses politik. Praktik money politics dalam penyelenggaraan pemilu dapat menciderai demokratisasi, merusak sistem politik, menodai fairness proses politik atau lebih jauh lagi invalidasi hasil proses politik.

Dengan kata lain, pelanggaran berupa money politics dapat membahayakan demokrasi dan merusak kehendak rakyat dalam menentukan pilihannya.  Hal ini menunjukkan bahwa money politics adalah persoalan serius dalam penyelenggaraan pemilu/pilkada. Terlebih Indonesia sebagai negara yang memilih pemerintahan berbentuk sistem demokrasi.

Namun realitas yang terjadi di lapangan, dalam penyelenggaraan pemilu money politics hampir dilakukan secara merata oleh peserta dan partai politik dengan berbagai macam modus pelaksanaannya. Money Politics Menyuburkan Korupsi Pengalaman pemilu dan pilkada langsung di Indonesia selama ini selalu dibayangi dengan money politics (politik uang) yang dampaknya memperparah korupsi di Indonesia.

Fenomena ini tidak hanya berlaku pada pilkada tetapi juga pada pileg, pilpres dan pilkades. Selalu ada pihak yang membagi uang yang menyuruh penerima untuk mencoblos calon tertentu. Hal ini sudah menjadi rahasia umum namun susah untuk dibuktikan karena masyarakat juga sudah memaklumi dan menjadikannya sebagai kelumrahan.

Sistem politik liberal (proporsional terbuka dalam pemilu legislatif, pemilihan presiden langsung dan pemilihan kepala daerah langsung) telah menyebabkan menjamurkan money politics sehingga mengakibatkan budaya Politik Transaksional tidak bisa dibendung.

Seolah-olah antara politisi dan masyarakat pemilih pun sekarang sudah menjadi pembeli dan pedagang, terjadi transaksi jual beli suara. Oleh karena itu melawan hantu politik uang menjadi penting.

Money politics dan korupsi saling berkaitan. Keduanya adalah fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks. Money politics dan korupsi telah merendahkan institusi demokrasi, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan.

Definisi Korupsi menurut World Bank (2000) adalah Penyalahgunaan Kekuasaan Publik untuk Keuntungan Pribadi”. Definisi World Bank ini menjadi standar internasional dalam merumuskan korupsi.Data Transparansi Internasional Indonesia (TII) tahun 2021 melaporkan selama ini uang rakyat dalam praktek APBN dan APBD menguap sekitar 30-40 persen oleh perilaku korupsi.

Modus operandi korupsi yang paling banyak, sebesar 70 persennya pada pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah. Sehingga perlu adanya sistem yang kuat, yang menjamin uang rakyat tersalurkan secara tepat guna dan tepat sasaran.

Data tersebut, menunjukkan ada potensi kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mengalami kebocoran antara 30 hingga 40 % tiap tahun. Artinya jika APBN kita sekitar tiga ribu triliun berarti ada potensi kebocoran seribu triliun.

Sementara Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) pada tahun 2020 baru bisa menyelamatkan sekitar 5 triliun, artinya baru bisa menyelamatkan kurang 1 % dari potensi kebocoran APBN dan APBD. Padahal uang seribu triliun yang menguap itu bisa untuk membiayai pendikan gratis hingga perguruan tinggi, membiayai kesehatan gratis masyarakat, bisa membangun jalan dan bisa untuk modal usaha pelaku UMKM agar rakyat makmur sejahtera.

LIHAT JUGA :  DAFTAR Pejabat di Jepara yang Diperiksa KPK Terkait Bank Jepara Artha, Mulai Pj Bupati, Sekda Hingga Kasubag Perekonomian Setda Jepara

Urgensi Pendidikan Politik

Di Indonesia pendidikan pemilih bagian dari upaya meningkatkan partisipasi politik. Berpartisipasi politik dijamin oleh Negara, tercantum dalam UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi:  “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Mengacu teori tindakan sosial Max Weber, secara umum kita bisa membuat tipologi pemilih dibagi empat yaitu pemilih rasional nilai, pemilih rasional instrumental, pemilih tradisional dan pemilih emosional afektif.

Pemilih rasional nilai adalah masyarakat yang dalam memilih paslon menggunakan logika berfikir yang rasional, misalnya, memilih paslon karena visi, misi, program kerja, track record (rekam jejak paslon) dan melihat sejauh maan keberpihakan paslon kepada rakyat.

Pemilih rasional instrumental, yaitu pemilih yang memilih karena ada hitung rugi dalam bahasa lain pemilih pragmatis dan transaksional yang memilih karena faktor duit, amplop, iming-iming atau sembako.

Pemilih tradisional yaitu pemilih yang menjatuhkan pilihan karena ada kesamaan tradisi, adat dan budaya (identitas). Sedang pemilih emosional afektif yaitu pemilih yang menjadikan faktor-faktor emosional sebagai penyebab menjatuhkan pilihan seperti ikatan keluarga, teman dan kolega.

Di sinilah pentingnya pendidikan politik kepada elit politik dan pemilih.  Pendidikan politik bagi elit penting agar elit tidak membodohi rakyat dengan melakukan money politics, sebaliknya pendidikan politik bagi rakyat penting agar rakyat cerdas dalam menentukan pilihannya.

Masyarakat harus menjadi pemilih yang cerdas yang rasional yang memilih atas dasar hati nuraninya, atas dasar akal sehatnya, bukan atas dasar transaksional pragmatis atau rasional instrumental. Masyarakat harus berani dan tegas untuk menolak segala bentuk pemberian dari calon karena ujungnya nanti akan membuat angka korupsi semakin besar.

Adanya pendidikan politik kepada masyarakat diharapkan agar rakyat menjadi pemilih yang cerdas dan rasional yang berani menolak politik uang.Pemilih yang cerdas dan rasional yang memilih atas dasar visi misi dan program calon, maka masyarakat harus mulai mengenali para calon, track record mereka selama ini bagaimana, integritas mereka bagaimana dan komitmen mereka selama ini seperti apa. Jangan asal memilih karena diberi imbalan atau amplop.

Selamatkan Indonesia dari Money Politics dan KorupsiTantangan terberat bangsa Indonesai saat ini adalah berjuang melawan budaya money politics dan korupsi. Money politics dan korupsi adalah bahaya laten yang bisa membawa bangsa ini jatuh dalam kebangkrutan.

Jangan sampai negara yang sudah didirikan dengan susah payah oleh para pendiri NKRI ini jatuh karena budaya money politics dan korupsi yang meraja lela, hal ini patut kita khawatirkan karena masyarakat termasuk para akademisi dan para ulama pun seolah-olah sudah mulai apatis bahkan permissive, seolah-olah sudah menganggapnya sebagai hal yang lumrah, ini kan berbahaya bagi masa depan bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia punya potensi besar untuk maju sebagai negara maju. Kelebihan kita ini memiliki tanah air yang luas, kaya sumber daya alam, penduduk yang besar  282.477.584 jiwa (87 % beragama Islam yang moderat), mempunyai ideologi pemersatu Pancasila dan kayak dengan budaya lokal.

Sayangnya kita memiliki kelemahan yang parah. Akibat sistem politik dan ekonomi pasar bebas (individualis) yang belum dimbangi dengan Sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan sejahtera serta rapuhnya karakter bangsa, sehingga budaya money politics dan korupsi semakin merajalela.

Ancaman terberat bangsa kita adalah ketika sudah membudaya praktek korupsi dan masyarakat sudah menganggapnya sebagai hal lumrah. Hal ini akan mudah menyebabkan konflik internal akibat mulai merebaknya budaya individualisme, sehingga rentan disintegrasi bangsa. Ini yang harus kita tanggulangi.

Padahal kita punya peluang untuk menjadi bangsa yang besar manakala mampu menjaga ideologi nasional nasional, mengelola Sumberdaya Manusia (SDM) dan Sumberdaya Alam (SDA) dengan baik, sehingga visi Indonesia Emas 20245 bisa terwujud.[]

* Ketua Perkumpulan Reksobhumi Indonesia